[Chapter 3] || Popular VS Ansos

1K 340 1.2K
                                    

- Popular vs Ansos -

\
\

Banyak orang beranggapan, menjadi bagian kelompok terkenal akan membuatnya ikut populer. Mungkin benar, karena dalam kurun waktu satu semester, sudah banyak nama terkenal dalam genk. Ada lagi yang tenar karena sengaja berkecimpung di dunia organisasi. Benar-benar sengaja untuk tenar, bukan melaksanakan tugas.

Meski begitu Maudy masih sama. Tidak peduli. Ia tidak sengaja jadi bagian OSIS - yang akhirnya cukup berguna sebagai list pengalaman untuk memenuhi daftar riwayat hidup nanti -, mengikuti ekskul KIR yang tenang, dan diseret Elina masuk basket. Nah, oke, untuk satu ini Maudy hanya ikut-ikut belajar teknik permainan saja, jarang turun pertandingan karena tinggi badan tak mumpuni.

Jadi, kalaupun Maudy dikenal, itu sebagai anti sosial. Atau introvert, atau sombong, atau anak guru - karena nama Maudy sering disebut sebagai perbandingan siswa teladan. Terima kasih pada guru, Maudy jadi tanpa sengaja disegani pelajar lain.

"Fara Queen lagi-lagi bikin sensasi." Elina muncul disebelah Maudy. Keduanya berada di taman belakang saat ini.

"Udah beres berurusan sama penjaga perpus?" tanya Maudy, tidak tertarik pada gosip yang akan Elina mulai.

"Udah. Buku nya ternyata ada di rak lain. Salah taro gua kayaknya kemarin," jawab sahabatnya itu sambil nyengir.

Maudy menelengkan bekal makanan menawarkan pada Elina, yang dibalas Elina dengan mengangkat plastik siomay. Oh, lama karena habis dari kantin.

"Dikantin heboh banget. Si Fara Queen ribut sama kakak kelas gara-gara nyerobot antrian."

"Fara Queen siapa sih?"

Elina mendengus, memutar bola matanya. "Arafah, IPS 2. Masa gatau, famous itu dia."

Tadinya tidak, tapi momen masa MBS mana bisa lupa. Arafah satu gugus dengan Maudy saat itu, tenar karena menyepelekan anak OSIS. Siswi dengan rok press, baju kekecilan, gigi behelan, panggilan beken nya Fara dan dia berlagak seolah ratu sejagad, jadi terbentuklah Fara Queen.

"Gaada takut-takutnya astaga sama kakak kelas! Bapaknya yang punya sekolah kali, jadi nya santai cari ribut. Mana main keroyokan, kakak kelas cuma berdua, dia bertujuh. Udah kayak mau battle girlband aja."

"Battle girlband mana sih El yang dua lawan tujuh?" balas Maudy skeptis, aneh-aneh saja pengandaian Elina.

"Girlband sekolah kita," sahut Elina enteng. "Kalau difikir-fikir, angkatan kita dominan cewek yang ngeri. Banyak banget kaum bar-bar nya."

Maudy menghela nafas. "Susah banget sabar sih, toh yang nyerobot cuma satu. Lebih ribet kalau udah gini."

"Yah, kakak kelas kan gede gengsi. Masa sama adek kelas dikurang-ajarin diam aja," balas Elina, kemudian menoleh pada Maudy. "Kecuali, kakak kelas nya modelan lu, baru deh tentram sekolah."

Maudy jadi terkekeh. Dia tahu, Elina berusaha menghibur agar tak larut sedih karena Bunda.
"Nanti lu kalau jadi kakak kelas jangan kayak gitu yah."

Elina memeluk lengannya gemas, "Hehe siap kak," katanya sok imut. Maudy menyipit geli, yang langsung mengundang tawa renyah Elina.

"Tapi kalau jadi kakak kelas, Arafah makin parah kali ya? Idih, jauh-jauh deh berurusan sama dia. Bakal ribet pasti." Elina bergidik.

"Iya, jangan," gumam Maudy setuju.

\
\

'Yaudah, kalau gitu Ody baik-baik dirumah ya..'

Setelah membaca pesan itu, Maudy kembali mengetik, 'Iya Ayah'

Jadi ia sendirian dirumah sampai besok. Ayah mengabarkan kalau Tante nya menjenguk Bunda siang tadi dan Maurin menginap dirumahnya. Ayah pulang malam karena lembur dan ke rumah sakit dulu. Sudah sepuluh hari berlalu tapi Bunda belum sadar. Padahal besok lomba perdana Maudy.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now