[Chapter 4] || Mata-mata

922 316 1.3K
                                    

- Mata-mata -

\
\

"Mau kemana Mod?"

Pergerakan Maudy terhenti karena pertanyaan Elina. Sejenak Maudy edarkan pandangan ke penjuru kelas. Jam kosong, mustahil ada ketenangan di kelas. Sekumpulan siswi berbincang dengan suara membahana, menyatu dengan umpatan-umpatan siswa yang nge-game online di barisan belakang. Ada lagi yang bercanda sambil histeris lari-larian. Benar-benar chaos.

"Perpus. Mau cari bahan buat eskul nanti," jawab Maudy.

"Ikut!"

Jadilah mereka berdua meninggalkan kelas. 

"Gila sih, Harry. Baru seminggu sekolah udah diajak gabung genk pentolan," ujar Elina di perjalanan.

Perhatian Maudy teralih, baru tau soal itu. "Siapa?"

"Harry, Mod. Anak baru kelas kita. Langsung famous dia, nyaingin pamor kak Andre. Ga heran sih. Orangnya ramah gitu, humoris, baik, keren hehe," ungkap Elina tersipu. Jangan bilang dia suka?

"Tch, ada yang jatuh cinta?" cibir Maudy.

"Siapa sih yang bisa nolak pesona Harry?" balas Elina retorik. "Tapi susah sih. Saingannya cewek-cewek hits. Gua yang kayak kuping wajan gini bisa apa?"

Sontak Maudy tertawa. "Hahaha apaan coba."

Jadi ingat beberapa cewek yang pernah Maudy lihat dibonceng Harry. Pengecualian untuk dirinya saat kerumah sakit, atau bu Rita -- jok belakang motor Harry selalu diisi oleh perempuan modis dan gaul, utamanya cantik.

"Kalau gua tebak, selera Harry pasti tinggi. Setinggi badannya. Sumpah Mod, senior basket ngincar dia banget buat gabung. Lumayan jadi tim inti, kan? Gua jadi diminta bujuk Harry karena sekelas. Duh, gimana nih Mod?"

"Tinggal ajak," balas Maudy ringan.

"Ngomong sama dia aja belum pernah," keluh Elina. "Harry mana pernah sendiri, rame mulu disekitarnya. Susah. Mod, bantuin kek, kan lu anak basket juga."

Anak basket gadungan tapi, batin Maudy.

Mereka berbelok masuk perpustakaan. Dalam hati, Maudy merasa lega tidak mendengar lagi ocehan seputar Harry. Meski tak peduli, Maudy tidak bisa menampik jika perbedaan kontras mereka sangat menampar. Harry disukai banyak orang, dikelilingi, dipuja. Perbandingannya jauh dengan Maudy. Pria itu dipuncak sedangkan dia di dasar tanah. Berharap saja Harry tidak berjalan kearahnya, jadi perbandingan itu tak kentara.

Tapi justru malah dia yang berjalan kearah Harry. Tanpa menyadari karena Elina tiba-tiba menariknya setelah beberapa langkah keluar perpustakaan.

"Itu Harry baru keluar toilet," cetus Elina.

Sungguh, Elina konyol ingin menghadang pria yang baru keluar toilet. Iya, sangat konyol, ketika tiba-tiba sahabatnya itu memanggil Harry, dan pria itu menoleh. Oke, Maudy telat memikirkan kesempatan untuk kabur.

"Iya?" respon Harry setelah Elina dan Maudy (yang berat hati) sampai dihadapannya.

"Eum, itu. . " Elina tiba-tiba gugup. Maudy menatap Elina malas, bisa-bisanya dia seperti ini. "Kita, temen sekelas, hehe," lanjutnya.

Senyum sopannya masih terpasang meski Harry bingung, sedangkan Maudy mengalihkan pandangan ke arah lain. Elina memalukan, menghampiri Harry tanpa rencana dan malah membuat situasi bodoh begini. 

"Oh, iya.. Udah tau kok. Duduk didepan kan?" balas Harry, baik hati meluruskan suasana.

"Eum, iya, hehe. ." Sumpah demi apapun salah tingkah Elina bikin Maudy yang malu setengah mati. "Tapi kita belum kenalan resmi kan? Kayak anak anak dikelas." Elina cengengesan.

Walking Towards Me [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang