[Chapter 26] || B(ad)-day Party

470 143 633
                                    

- B(ad)-day Party -
\
\

Anggapan Harry salah. Maudy memang kaum minoritas, tapi bukan minoritas sembarangan. Dia punya pengaruh besar, cara survive nya cerdik sekali dengan memegang hati para guru.
Jadi kali ini, atmosfir sekolah berbeda. Para pelajar otomatis kalem seiring ketegangan sekolah selama guru mengusut insiden pencelakaan itu.

Kelas 11 IPA 3 paling merasakan dampaknya. Guru-guru senewen, terlebih karena murid andalannya tak masuk dan tak ada yang menanggapi materi ketika ditanya. Seperti tadi. Yang akhirnya kelas diakhiri dengan ceramah panjang — sedikit mengungkit Maudy.

"Dho, pindah duduk," pinta Poppy setelah guru keluar.

"Mbung! Masa gua duduk sama Mitamit," balas Ridho. Pria jenaka itu bangkit, berlari disusul Mitha mengejarnya. "Kurang ajar lu bigos jantan, sini!"

Poppy pindah ke sebelah Harry, meraih tangannya, sedikit condong. "Jadi ga semangat ya sekolah gara-gara ini? Emang tetangga lu tuh gitu, dari dulu juga bikin ribet."

Tidak Harry tanggapi, masih mencatat meski malas.

"Ngapain nyatet. Mending main," ganggu Poppy lagi.

"Ntar lah, kelarin ini dulu."

"Rajin banget sih Ri."

Kali ini tak Harry balas. Jarang-jarang Harry menolak seperti ini jadi Poppy mencari cara lain dengan mengambil pulpen dan buku Harry. "Gua aja yang nyatet," ujarnya.
Sementara sebelah tangan mengarahkan tangan Harry ke pahanya.
"Lu main aja, biar semangat."

Terlalu malas mengelak, jadi tangan Harry bergerak tak niat meraba. Lalu, atensinya teralih ke depan. Pada gadis yang duduk dengan bangku kosong disebelahnya. Elina hening, tidak seperti biasanya meskipun table-mate nya hilang-hilangan. Agak aneh.

"Mau kemana Ri?" tanya Poppy setelah 15 menit, karena Harry beranjak.

"Toilet." Memang ke toilet, tapi sekembalinya ke kelas malah duduk di sebelah Elina.

"Eh Ri," sapa Elina, nada suaranya otomatis cerah.

Harry bersendekap, menyandar ke bangku dengan memandang papan tulis. Elina pikir dia butuh bantuan terkait materi.
"Kenapa?"

"Aneh. Ga biasanya lu hening gini. Kena bully juga?"

Bohong kalau Elina tak senang, perkataan Harry seolah dia memperhatikannya selama ini. Tapi perasaan khawatir pada Maudy lebih mendominasi, jadi dia tertahan untuk bereaksi.
"Engga kok, yakali lagi situasi gini sempet-sempetnya ngebully?"

Harry mengangguk, benar juga. Sama aja bunuh diri.

"Mody gimana kabarnya?"

Harry berdecak. "Baru sehari dia libur."

Gadis itu mengekeh kecil. Basa-basinya buruk. "Jadi lu ikutan ngumpetin ini ya?" Ia mencoba basa-basi lain.

"Maksudnya?"

"Kalau wali Mody gaada yang dateng, artinya mereka gatau," tutur Elina. "Kemarin pas gua anter Mody, dia ngeles ke Bundanya kalau kena beling. Gua nurut aja sih, tapi kirain bakal nanyain lu lagi buat mastiin kebenaran. Atau, lu gaditanya ya?"

Diam sebentar sebelum menjawab, "Ditanya."

Mustahil tidak, sore pulang sekolah ia langsung diinterogasi dirumah Maudy. Sementara gadis itu dikamarnya, tidak keluar, juga tak mau didatangi ke kamar. Bilangnya ingin istirahat, tapi Harry tau itu karena masih menghindarinya.
Spontan Harry membenarkan saja pertanyaan mereka yang berdasarkan penuturan Maudy sebelumnya. Karena pasti itu yang dia inginkan.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now