[Chapter 7] || Pukulan Telak

840 289 1.3K
                                    

- Pukulan Telak -

\
\

Harry terbiasa berangkat 10 menit sebelum gerbang sekolah tutup, meskipun itu Senin. Dia ahli mengemudi kalau boleh sombong, dan lebih tertarik dihukum ketimbang ikut upacara. Tapi melihat gadis mungil yang tampak buru-buru keluar rumah, menunduk mengenakan dasi, itu jarang. Bahkan tak pernah. Maudy terlalu rajin, terlalu monoton, patuh aturan.

Jadi kalau dia masih berkeliaran dikawasan rumah jam segini, itu mungkin mimpi buruknya : Terlambat.

Mereka bertemu pandang setelah Maudy mengenakan dasi, tapi hanya sekilas, karena gadis itu terus berjalan. Dan karena Harry tidak mendapat perintah pergi dengannya, ia menjalankan motor, melewati Maudy.

Harry tidak terkejut jika Maudy ada dibarisan murid-murid dihukum. Ia baru sampai, habis dari tempat tongkrongan karena percuma datang langsung ke sekolah jika tetap telat. Keberadaan Maudy menjadi hiburan, semua murid hukuman terkekeh remeh untuknya.

"Haha, lucu juga liat anak guru dihukum," sahut Ridho, disebelah Harry. Pandangannya sesekali terarah ke lapangan, dimana gadis itu menyapu disana.

Bersama enam lainnya Harry kebagian memungut sampah di sisi lapangan lain, tiga diantaranya teman genk Harry. Beberapa lagi menyebar sampai area parkir, dan berkelompok. Hanya Maudy yang sendiri.

"Kena hukum aja masih berlagak sombong. Sok santai terima hukuman. Caper banget sama guru, cih!" decih Wildan.

Tadi Maudy dibebaskan hukuman karena hanya telat 1 menit sebelum upacara mulai, dan masih ikut upacara meski dibarisan terpisah. Tapi gadis itu meminta diperlakukan adil karena indeksnya tetap melanggar peraturan.

Catur, si hitam manis berkomentar, "Kenapa sih Wil? Sensi mulu sama dia."

"Coba lu tanya Harry atau Ridho yang sekelas."

Ridho mengangkat bahu cengengesan, antara tau atau tidak, tapi Harry jelas tidak tahu tentang Maudy disekolah selain kehidupan monotonnya. Jadi Wildan berkata lagi,
"Gua sekelas sama dia kelas 10. Tuh cewek nyebelin banget. Dia kan anak OSIS, terus ga sengaja ngeliat gua bawa rokok, besoknya razia. Siapa coba cepunya?"

Ridho terbahak. "Ributin aja, ributin."

"Anak guru, gila! Bisa ke ruang BK urusannya. Tapi pernah tuh, cari perkara dikelas. Kerajinan banget jam kosong malah minta tugas, kan nyulut amarah. Jadi salah satu genk cowok kelasan gua ngehadang dia pulang sekolah, eh dia gatakut. Santai gitu. Konyol sih, kalau cowok udah bonyok kali."

"Haha, pernah juga tuh," Ridho ikut menimpali, "gua liat dia disamperin genk cowok pas balik, gatau deh kenapa, pokoknya pada emosi. Dia sendiri, yang nyamper bertujuh. Tetap santai, padahal hampir dipukul, tapi si ketua OSIS keburu datang. Gokil sih, ga takut dia."

Harry jadi pendengar disini. Tidak menyangka, sifat masa bodoh Maudy bukan hanya padanya tapi pada banyak hal, termasuk kebencian yang diterima. Kalau boleh menebak, mungkin selama ini gadis itu bukan membencinya?

"Boleh juga tuh cewek. Terakhir juga sok belain kita kan waktu berantakin musholla? Jadi penasaran, coba kerjain sekali-kali lah," usul Catur.

Harry menyahut cuek. "Yakin mau macam-macam sama anak guru? Ditatar ketua OSIS lagi lu."

"Justru bagus, biar Andre kapok ngurusin kita. Haha, revenge cuy!"
\
\

Sebenarnya Maudy malu. Selama ini ia berusaha yang terbaik supaya tak ada cela, karena banyak orang akan bersuka hati menatapnya remeh, seperti sekarang.
Mungkin tidak semua, tapi jujur saja, setiap orang pasti tidak bisa mengabaikan insiden buruk kan?

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now