[Chapter 29] || Playdate

500 129 568
                                    

- Playdate -
\
\

Seramai apapun kantin, crusher selalu punya tempat dan merusak ketenangan karena mereka lebih berisik dibanding antrian jajanan.
Dan crusher tinggal terima duduk karena akan memerintah murid lain membelikan makanan. Makanya tumben jika Riko bergerak sendiri, meski tetap serobot antrian siomay.

"Udah dibayar a'," kata tukang siomay ketika Riko baru merogoh saku seragam.

Alisnya bertaut. "Mabok lu bang? Baru juga gesek kantong."

"Ya kagak. Emang udah dibayar tadi sama si neng geulis."

Riko masih menerka sampai si tukang siomay menambahkan, "yang kecil putih." Dan kira-kira tau karena sempat liat sosok yang meninggalkan kantin belum lama ini.

Diambil siomay itu dengan santai lalu melengos begitu saja.

Sementara Maudy berjalan di koridor bersama Elina, sudah kebal dengan sekitar dan lagipula tidak ada lagi atensi berlebih padanya. Bagus, mungkin mereka bosan.

"Kalau dia nyuruh orang buat beli makanan gimana? Terus Abang siomay nya gatau, gimana?" tanya Elina.

Maudy menyahut ringan, "Rezeki abangnya berarti."

Elina mencebik gemas dengan respon itu.
"Gabiasanya lu begini, tumben?" tanya nya lagi.

Ada jeda sebelum Maudy membalas, "Buat makasih. Gua belum bilang ke dia."

"Gila, udah seminggu lebih."
Elina paham yang Maudy maksud itu kejadian Riko dihukum karena mem-bully Poppy untuknya.

"Kan baru ini keluar kelas."

"Emang lu gapunya hape?" sarkas nya.

"Bagusan makasih langsung."

Tidak langsung membalas karena Elina melihat Maudy tersenyum. Dia pun menilik arah pandang Maudy, dan menemukan Andre di sebrang lapangan yang tersenyum menyapa. Jadi Elina ikutan menyapa senyum. Pria itu sedang mengekor guru dengan dua murid lain, sekilas memainkan ponsel sebelum masuk ruang TU, dan detik berikutnya terdengar denting dari ponsel Maudy.

"Emang yang tadi langsung?" cibir Elina. Lalu mengintip terang-terangan pop-up chat 'happy to see u walking' yang hanya dilihat Maudy.
"Heran sama lu Mod, bahkan orang yang lu suka tetap ga ngubah kebiasaan lu males chattingan."

"Kalau basa-basi gitu gua gatau kudu bales apa. Mendingan dia nanya."

"Kalau lu begini gimana dia bisa tau perasaan lu?"

"Minimal traktir yang bener," tambah sebuah suara. Kedua gadis itu sontak berbalik, mendapati Riko hampir mencapai mereka.

"Yakali semurah ini gambaran perasaan lu?" ujar Riko lagi, sebelah tangan mengangkat plastik siomay yang separuh habis.

Meski Riko salah persepsi, Maudy tidak niat protes. Justru bagus, atau dia bisa ngamuk karena topik yang sebenarnya dibicarakan adalah Andre.

"Jadi lu ingat hari ini?" tanya Riko tersenyum senga.

"Rabu?"

Riko mendengus. Lalu Elina menyeru, "Eh iya bener."
Maudy menatap bingung sahabatnya, yang direspon gadis itu dengan gesture menutup satu sisi mulut. "Dua bulan pacaran," beritahu nya setengah berbisik.

Tapi Riko masih dengar. "Temen lu aja inget, ga guna banget otak lu."

Maudy tidak tahu harus bereaksi apa. Jangankan tanggal, kadang ia lupa kalau statusnya berpacaran dengan pria ini. Ia tidak yakin bagaimana orang pacaran karena memang sebelumnya tidak pernah, juga tak tahu gaya pacaran Riko - tapi interaksi mereka jarang sekali. Kalaupun Riko chat, itu sesekali dan isinya menyebalkan. Jika telepon, tidak jauh beda dengan sebelum pacaran dimana pria itu banyak diam. Tak ada drama saling perhatian atau menyayangi, kecuali sikap posesif Riko yang muncul disaat tertentu seperti ia di bully atau ia bersama Andre.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now