[Chapter 8] || Permainan Peran

800 275 1.2K
                                    

- Permainan Peran -

\
\

Buruknya, malah ia yang tak bisa lupa. Bukan soal keributan — esensi kejadian itu malah terabaikan di otaknya. Tidak lagi terpukul, Maudy malah bergidik setelah hari itu ketika ingat membiarkan Harry memeluknya. Dan balas memeluk Harry — merasa tenang. Otaknya pasti konslet.

Tentang pria itu, Harry menepati ucapannya untuk bersikap seolah tak pernah ada apa-apa. Kembali mengabaikan, dan menyebalkan. Maudy juga berusaha untuk berlaku seperti biasa, tapi tetap saja terasa canggung. Setiap melihat Harry, rasanya tak nyaman karena ingat lagi.

Jadi tanpa sadar Maudy membuat jarak.

"Disini aja," kata Maudy, seminggu setelah kejadian.

Harry menepikan motor, masih lumayan jauh sampai kesekolah. Tapi Maudy turun, memberi helm.

"Ibu bilang bareng sampe sekolah," balas Harry, ragu menerima helm.

"Gausah, ketahuan pacar lu berabe nanti."

Setelah hari itu, Harry seperti mengabulkan harapannya. Membuat jarak. Kecuali didepan orang tua masing-masing, dia masih ramah hingga Maudy juga ikut alur. Bagus sih, perilaku menyebalkan nya berkurang. Tapi aneh, seperti bermain peran saja.

"Mod, Bella," bisik Elina.

Maudy mengerjap, menoleh ke Elina, lalu beralih ke arah pandang Elina, melihat tiga siswi yang melangkah dari arah sebaliknya. Ini pertemuan pertama mereka sejak kejadian itu. Maudy bersiap minta maaf jika mereka berniat balas dendam setelah dijatuhkan — agar masalah selesai. Tapi tiga gadis itu hanya melirik sinis, lewat begitu saja.

"Bentar," Elina menyahut bingung, "itu tadi mereka nyuekin kita?"

Ia juga bingung, mengangkat bahu.

"Wah Mod, gua tau lu pasti hebat. Emang ya, marahnya orang diam tu ngeri. Ga niat deh gua berantem sama lu."

"Tapi lu bikin gua berantem. Padahal pernah bilang, gamau berurusan sama mereka," cibir Maudy, lalu bergidik. "Duh, jadi aneh kan gua rasanya."

Sahabatnya itu nyengir. "Emang lu aneh. Dari dulu disikapin buruk hampir satu kelas gapernah marah, orang kan jadi makin nginjek," semburnya semangat.

Bukan aneh itu, batin Maudy. Diam sebentar lalu menjangkau kepala Elina yang tinggi 3 senti darinya, mengacak pucuk rambutnya, "Gapapa, biar lu ga ngeri, haha."

Selama ini Maudy jarang marah, pada Harry yang menyebalkan saja tidak sampai marah. Menurutnya, marah tidak menyelesaikan masalah.
Tapi masa sih, semengerikan itu kemarin? Padahal Maudy tak sampai ngamuk, cuma menatap tajam dan bicara datar agak ketus.

Masuk kelas, Maudy disuguhkan dengan pemandangan Harry tergelak sambil menahan siswi yang mencoba merebut ponsel — sebelah tangan menjauhkan ponsel, sebelah lagi menahan pipi si cewek — dan Maudy bergidik lagi.

Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu, tapi pria itu lebih dulu memutus kontak mata.

\
\

"Tumben Harry ga manggil gua." Elina bergumam, sesekali melirik kebelakang.

Maudy melirik hanya untuk geleng-geleng kepala lalu lanjut mengerjakan matematika. Baik itu bagus sih, tapi baiknya Elina sudah mendekati konyol. Bukannya kapok berurusan dengan Harry, malah berharap disabotase lagi.

Elina mengguncang bahunya tiba-tiba, bikin tulisan Maudy tercoret. "Mod, Harry kenapa sih? Kok gua ngerasa dicuekin gini?"

Untungnya itu pensil, Maudy jadi mudah menghapus tanpa ada kotor. Ia tidak minat menjawab Elina, tapi sekali lagi tulisannya tercoret karena diguncang lagi.

Walking Towards Me [COMPLETED]Where stories live. Discover now