The Cat And Dog, Kind Of

1.4K 381 29
                                    

"Ti-tidak. Aku tamu di sini," jawab Gian.

Pria itu menelengkan kepalanya. Memperhatikan Gian dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Menarik napas dalam-dalam lalu berucap. "Ah, kau tidur dengan salah satu di antara mereka." Kesimpulan yang pria itu ucapkan membuatnya ingin menendang selangkangan pria yang bermulut seperti tong sampah ini. Tapi ia belajar dari pengalaman. Makhluk-makhluk astral ini pasti akan membuatnya sakit sendiri ketimbang ia memberikan rasa sakit pada mereka.

"Euh, baumu tercium hingga luar kastil, Anjing." Suara yang sudah dihafalnya terdengar dari pintu besar. Pintu yang berjarak tiga meter dari Gian agar ia bisa kabur. Marius berdiri di sana dengan muka yang ingin muntah.

"Jadi, dia milikmu? Bukankah dia terlalu kecil?" Pria di hadapannya menunjuk Gian dengan jari telunjuk. Tubuhnya masih menghadap Gian tapi kepalanya melihat ke arah Marius.

Marius berjalan mendekat. "Jika aku menjadi kau, aku tidak akan berada di dekat perempuan itu kalau tidak mau membuat Codru marah."

Seringai licik bermain di bibir pria di hadapannya, "Ah, jadi dia perempuan yang diberitakan dengan heboh itu. Not bad. She can bear a couple of pups."

"Mati saja kau jika macam-macam dengannya," tandas Marius, kini pria itu sudah berdiri di sampingnya. Pria bertubuh besar yang berada di depan mereka kini tertawa mengejek, "Aw, aku tidak tahu kau bisa begitu penurut pada majikanmu. Apa lagi perintahnya padamu? Menjaga anak manusia ini dengan nyawamu sebagai taruhannya?"

Marius tertawa, "Bilang saja kau hanya iri. Kau belum menemukan pasanganmu. Mungkin the Deity memang menakdirkanmu seorang diri seumur hidup karena tahu tidak akan ada yang kuat menghadapimu." Ujung bibir pria yang berada di hadapan Gian berkedut, topik ini sepertinya tepat sasaran. "Bukan kah seorang Luna sangat diperlukan di kaummu? Bagaimana bisa kau belum memilikinya?" lanjut Marius yang seperti menekan tombol nuklir karena pria itu kini menggeram lalu menerjang Marius. Gian yang berada di belakangnya mau tidak mau terpelanting ke samping karena tabrakannya.

Tubuhnya melayang sebelum sisi kepalanya menabrak anak tangga, bersamaan dengan bagian tubuh lainnya. Kupingnya yang berdenging membuatnya tidak dapat mendengar hal lain. Matanya yang otomatis terpejam rapat-rapat ia buka sedikit untuk melihat dua makhluk jadi-jadian yang mengakibatkannya merana seperti sekarang. Mereka sibuk memukul satu sama lain dan melupakan keberadaannya. Pria dan ego mereka. Seakan goresan sedikit saja pada ego dapat melukai tubuh mereka dan menjadi luka permanen. Ia meringis saat kepalanya berdenyut. Gian berdiri, mengabaikan rasa sakit itu dan berjalan merapat tembok akan tidak terkena imbas dari pertarungan ego mereka. Berjalan keluar kastil dengan hati-hati karena tidak mau menunggu orang lain menyelamatkannya seperti yang sudah-sudah. Ia merasa seperti damsel in distress jika harus diselamatkan terus menerus.

Gian berhasil keluar kastil meskipun berjalan tertatih-tatih. Bagian tubuh kirinya pasti akan memar-memar malam nanti. Brengsek memang makhluk-makhluk sialan ini. Sinar matahari yang menyapa bagian tubuhnya yang tidak tertutupi terasa sangat menyenangkan meskipun angin yang berembus membuatnya menggigil.

Gian memasuki hutan yang kini sudah kehilangan warna-warna musim gugur. Dedaunan sudah berguguran di tanah membuat setiap langkahnya mengeluarkan bunyi renyah daun kering yang patah. Seperti lagu di telinganya. Matanya masih dapat menangkap beberapa warna hijau dari pepohonan yang masih tegak berdiri dengan daun-daunnya.

Gian menantikan salju turun, dari berbagai situs di internet, November biasanya sudah bersalju dan ia tidak sabar melihatnya untuk yang pertama kali. Kedua tangannya ia gosokkan karena udara mulai membuatnya mati rasa. Sesekali langkahnya terhenti karena nyeri di kepalanya tiba-tiba saja datang kemudian melanjutkan perjalanan saat sudah hilang.

Gian berhenti saat ia yakin tidak terlalu dekat lagi dari kastil dan duduk di bawah salah satu pohon dengan kedua tangan berada di dalam saku jaketnya. Jarak yang ia yakini masih dapat kembali tanpa tersesat di hutan dan perlu diselamatkan oleh orang lain. Ponselnya berbunyi, dari nada dering yang digunakannya ia langsung tahu bahwa itu dari ibunya. Ia mengangkat panggilan itu setelah mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Ya, Bu?"

"Gian, kok lama tidak telepon Ibu? Sehat?" Wajah ibunya terlihat khawatir. Tentu saja, biasanya ia sangat rajin menghubungi ibunya, tapi beberapa minggu terakhir ini ia ragu apakah harus menghubungi dan menanyakan mengenai moyangnya yang sangat kurang ajar atau tidak. Ia sangat yakin ibunya tidak mengetahui hal-hal aneh ini sehingga tidak mungkin menanyakan hal itu.

"Lagi pusing dan sibuk sama kuliah aja, Bu," jawabnya. Gian tidak sepenuhnya berbohong untuk hal ini.

"Jangan lupa makan, istirahat yang cukup..." dan berbagai wejangan lainnya. Gian hanya mengiakan lalu mendengar suara ibunya yang selalu dapat membuatnya merasa tenang. Ia butuh ketenangan di dunianya yang tiba-tiba saja kacau balau.

Mereka mengakhiri panggilan saat suara neneknya terdengar mengomel mengenai sesuatu. Ah, bahkan ia merindukan omelan neneknya yang panjang bagai kereta. 

29/3/21
Revisi 29/7/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rumpelgeist [FIN]Where stories live. Discover now