Fortress

3K 614 40
                                    

#QOTD road trip atau private jet?

🌟

Mereka berempat sudah tiba di salah satu kastil tua yang berada di sekitar Transylvania. Ia mulai menyesali keputusannya untuk ikut Sab ke sini begitu melihat komposisi dari pesertanya. Dua orang cowok dan dua orang cewek, and she is smart enough to put two and two together.

Mobil yang mereka gunakan terpaksa diparkirkan agak jauh karena daerah sekitar sana tidak memiliki lahan parkir dan mereka hanya dapat berjalan kaki untuk mencapainya. Agak menanjak memang, tapi sepadan dengan usahanya karena mereka dapat melihat hamparan pohon yang berwarna khas musim gugur. Ia tidak pernah bosan untuk melihat pemandangan ini meskipun sudah dilahapnya setiap hari selama tinggal di sini. Ada sesuatu dari warna serta daun yang berguguran yang membuatnya merasa tenang. Atau saat angin musim gugur yang menyapa setiap inci wajahnya dengan embusan pelan, membuat rona merah jambu di ujung hidungnya.

Mata Gian menjelajah di sekitar kastil di mana temboknya terbuat dari berbatuan berwarna krem dengan atap berwarna oranye yang hampir mirip dengan warna dedaunan sekarang. Bangunan ini sudah tua, tetapi masih tegak berdiri, menjulang di antara pepohonan yang berada di sekitarnya.

Angin yang berembus membuat Gian merapatkan jaketnya agar tetap terasa hangat. Hari ini memang diperkirakan akan lebih dingin dibandingkan hari-hari sebelumnya. Gian yang terbiasa dengan cuaca tropis tentu memerlukan waktu lebih untuk penyesuaian cuaca.

Gian tidak mengerti apa yang mereka cari di tempat ini karena sepengelihatannya, tempat ini tampak seperti objek wisata. Kastil ini penuh dengan orang-orang dari berbagai macam negara yang datang dengan harapan dapat melihat vampir meskipun hanya sekilas. Ia membaca pamflet yang mengatakan tempat ini sudah dijadikan museum untuk koleksi ratu dan sudah direstorasi beberapa kali. Seperti banyakan tempat bersejarah di negara itu, warna yang mendominasi adalah cokelat serta krem dengan penerangan berwarna senada dari lampu-lampu gantung yang terbuat dari besi berwarna hitam.

Well, yang membedakan mungkin hanya tunnel yang berada di bawah bangunan itu. Mereka tidak menjelajah ke sana lantaran sedang ditutup. Udara dingin amat terasa hingga membuat bulu kuduk Gian berdiri ketika berada di sana.

"Bulu kuduk aku berdiri!" seru Sab sambil menunjukkan tangan kanannya yang merinding.

Meskipun enggan mengakui, tapi Gian juga mengangkat tangannya dan menunjukkan hal yang serupa. "Anginnya dingin."

"Hawa. Hawanya yang berbeda," tukas Sab yang diamini oleh kedua temannya yang berpakaian serupa dengan Sab. Hitam. Mereka menggunakan pakaian serba hitam selayaknya sedang berkabung atau mengunjungi pemakaman. Gian hanya mencibir sebagai jawaban.

"Kita harus masuk ke dalam," ucap seorang pria yang bernama Frans. Pria bermata biru dengan rambut pirang.

Pria lain dengan rambut cokelat, yang Gian lupa namanya, dengan cepat mengiyakan ucapan Frans. Sab menoleh ke arahnya dan memberikan tatapan memohon tapi Gian dengan tegas menolak. Ia malas dijadikan alat agar Sab dapat mendekati pujaan hatinya, Frans.

"Tidak. Kau bahkan enggak bilang kalau ini akan jadi kencan ganda!" bisiknya pada Sab.

"Ayolah, ini tidak ada bedanya." Sab merangkul tangannya, mencoba mengeluarkan tatapan memohon untuk mencairkan suasana dan merayunya agar ikut. Dia tidak tahu saja kalau riasan wajah gelapnya itu justru membuatnya menakutkan, alih-alih menggemaskan.

"Beda, Sab! Kau sedang menjerumuskan aku dan mencoba jadi mak comblang demi keuntunganmu sendiri!" tandasnya sadis. Ia tidak mau menjadi kambing congek, meskipun itu untuk menyenangkan temannya. Baginya, berada di sini saja sudah cukup menyiksa, ia tidak mau digeret ke mana pun lagi.

Sab memutar bola mata. "Okay, kau bisa tunggu di luar." Perempuan itu lalu berpaling agar dapat mengahad Frans, "Gian sedang tidak enak badan jadi aku saja yang ikut kalian," ujarnya dengan senyuman.

Pria berambut cokelat itu menatap pada Gian dengan khawatir, "Kau yakin sendiri? Aku bisa menemani sementara mereka mencoba masuk."

"Kau masuk saja. Aku bisa menunggu di depan." Gian tidak menunggu jawaban, ia langsung melambai pada mereka bertiga dan keluar dari kastil itu.

Rasanya Gian lega setelah keluar dari sana. Pertama kali memasuki kastil itu dadanya langsung terasa sesak yang ia yakini akibat perjalanan. Tanpa ia sadari, kakinya sudah melangkah memasuki hutan yang konon disebut benteng bagi kastil yang ia kunjungi.

Sinar matahari yang masuk dari antara celah pepohonan hingga mengenai tanah membuat bayang-bayang yang menenangkan bagi Gian.

Terasa magis tetapi ia menyukainya.

Matanya kemudian memandang barisan pohon-pohon yang berada di sekeliling hingga matanya terhenti pada sebuah cerang di antara pepohonan yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. 

28/9/20
Revisi 12/7/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rumpelgeist [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang