Lonely

1.9K 342 31
                                    

#QOTD kamu tipe romantis atau realistis?

🌟

Codru terkekeh melihat gadis yang memasang tampang sangar meskipun jelas sekali ia terlihat takut padanya. Namun, ia cukup senang saat tahu gadis itu tumbuh dengan baik dan bisa berdiri untuk dirinya sendiri. Matanya masih mengikuti Gian yang berlari menuju sekolahnya. Ia tahu itu karena sudah beberapa hari ini ia memperhatikan kegiatan Gian secara langsung. Punggung kecilnya terlihat mulai menjauh dari tempat mereka bertemu, begitu pun dengan ibu Gian yang sudah kembali memasuki rumah. Sayang sekali ia belum sempat membuat gadis itu marah.

Coodru hafal dengan jadwal Gian di luar kepala. Pagi hari di sekolah, sore hari pulang dan berada di rumahnya jika sedang tidak keluar dengan teman-temannya. Ia akan berdiri di satu sudut tergelap dan melihat dalam diam. Memastikan gadis itu baik-baik saja.

"Codru, aku tidak pernah berhenti bergidik melihat senyumanmu saat menguntit anak manusia itu," ujar salah seorang temannya yang mengikutinya ke sini. Pria dengan tubuh yang sama pucatnya seperti dirinya memberikan tampang ngeri dan jijik yang bercampur menjadi satu. "Kenapa tidak kau bawa saja dia sekalian dan kita bisa berhenti menjadi penguntit." Kalimatnya kental dengan rasa kesal.

"Aku belum bisa membawanya," jawab Codru, mereka mengendarai mobil mengikuti Gian. Dari sekian lama hidup, Codru paling tidak suka menyetir. Terlalu lambat baginya yang biasa bergerak cepat. Belum lagi jika ada kemacetan, rasanya ia ingin langsung keluar dari mobil dan pergi dari sana. Namun, risiko menakuti para anak manusia terlalu merepotkan untuk diurusnya. Ia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan itu di sini.

Marius mendengkus dengan malas, tidak pernah mengerti jalan pikiran pria satu ini. "Kenapa repot-repot datang dan melihat wajah anak manusia itu dan baru kali ini juga kau menunjukkan wajah padanya, kan?"

Ini memang pertemuan pertamanya secara langsung dengan Gian, sayang sekali harus berhenti sebelum dia dapat menikmati kedua bola mata yang disukainya itu. Melihat dari foto terasa berbeda dengan berhadapan langsung. Codru dapat melihat mata biru secerah langit pagi ini dan mata lainnya yang berwarna hazel. Mata hazel yang menjadi favoritnya, di dekat pupil berwarna emas dan bagian luarnya berwarna hijau. Ia dapat melihat Sorina di mata dan juga rambutnya yang ikal.

Codru berdeham kala sadar ingatan itu terasa seperti kemarin, bukannya sudah lewat ratusan tahun yang lalu. Ia meletakkan tangan di setir dan melihat Gian seperti elang sedang mengintai mangsanya. "Aku hanya perlu tahu dia aman, Marius. Kau akan mengerti bagaimana susahnya berada jauh dari seseorang saat sudah mengetahuinya ada di dunia ini."

Marius membenturkan kepalanya ke jendela mobil, jijik membayangkan akan hidup seperti Codru dan ia lebih memilih melihat pimpinannya yang haus darah dan kekuasaan ketimbang seperti bocah yang mabuk kepayang. "Itu tidak akan terjadi padaku. Kami mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan, ingat?"

Senyum di wajah Codru luntur seketika. Ia lupa akan hal itu karena ratusan tahun terakhir ia hidup dengan kenyataan bahwa ia tidak memiliki pilihan. "Bukan masalah. Susah untuk mencari pasangan saat kau berada di atas. Dan itu tempat yang sangat sepi. Punya pasangan seperti anak manusia yang berisik itu tampaknya akan menyenangkan," ujarnya. Tidak tahu untuk menjawab Marius atau untuk menenangkan dirinya sendiri. Sepertinya yang terakhir, karena sampai sekarang ia tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hidupnya serumit ini.

Oh, bukan. Ia sendiri yang menyebabkan hidupnya rumit. Ini hanyalah ganjaran atas apa yang dilakukannya selama beratus-ratus tahun yang lalu. Tangan Marius bergerak di hadapannya saat pikirannya mulai berkelana. "Hei, hei. Abel bertanya kapan kita akan pulang. Codru!"

"Hm? Beberapa hari lagi. Aku belum merasa tenang," jawabnya dengan tenang, mengabaikan Marius yang kini sudah mengumpat di setiap embusan napasnya.

"Untuk apa kau bayar banyak orang untuk mengawasinya beberapa tahun terakhir kalau harus dilakukan sendiri sekarang?!" rutuk Marius. Pria itu benar-benar terlihat siap untuk menculik Gian kapan saja agar tidak perlu berada di sini sekarang.

"Tidak selama itu. Baru lima tahun terakhir. By the way, Marius, kau terlalu banyak protes dan mengeluh." Codru mengangkat sebelah alisnya. Sejauh ini ia hanya membiarkan Marius yang merecoki tindak tanduknya karena pria itu merupakan orang kepercayaan dan terdekatnya. Pria yang paling lama berada di sekitarnya dan bertarung bersamanya dari awal hingga ia berada di posisi sekarang.

"Ayolah, kapan lagi aku bisa menggerutu jika tidak di sekitar anak manusia itu? You become so squishy and mushy around her."

"Lagi pula, dia tidak akan suka jika kita membawanya secara paksa. That little spitfire of mine." Codru mencoba memberikan alasan yang masuk akal. Membuat Gian pergi secara paksa tidak masuk ke dalam daftar yang ingin dilakukannya.

"Kan? Kau tidak berhenti mengumbar senyum selama di sini. Aku benar-benar harus mengirimkan fotomu pada Abel dan juga Dacian agar mereka percaya kalau kau bisa tersenyum tanpa terlihat siap untuk membunuh. Tapi menurut pendapatku kau terlihat jauh lebih menyeramkan sekarang," ejek Marius.

Codru tidak sadar kalau ia sedang tersenyum hingga Marius yang mengatakannya. Tapi, setelah dipikir-pikir ia tidak mempunyai alasan untuk tidak tersenyum, bukan? Ia sudah terlalu lama menunggu untuk bisa bertatap muka dengan Gian dan euforia yang didapatkannya dari pertemuan tadi masih terasa hingga sekarang. Seluruh tubuhnya terasa lebih ringan dengan riak-riak bahagia yang melingkupi setiap sel tubuhnya.

Codru memilih diam dan menyerap seluruh ucapan Marius di kepalanya. "Katakan pada Constin untuk melatih para prajurit baru," ujarnya yang membuat Marius menaikkan satu alis.

"Anak baru itu? Kau tidak terlalu mempercayainya bukan?"

"Siapa juga yang akan mempercayai makhluk kecil yang kau temui setelah pembantaian dan meminta jadi bagian dari prajurit?" tanyanya balik.

"Lalu? Kenapa tidak meminta Abel saja? Kau tahu dia akan dengan senang hati membantai semua anak bau kencur itu."

"You need to test the water to know the depth, Marius. Lagi pula aku lebih membutuhkan prajurit yang tubuhnya utuh dibanding sepenggal-sepenggal atau yang sekarat karena Abel." Codru mengedikkan bahunya. Bukannya ia tidak mempercayai Abel, hanya kadang emosi wanita itu selalu membuatnya buta sehingga membabi buta menyerang tanpa kenal ampun. "Dan juga teknik bertarung Constin berkembang dengan pesat," lanjutnya. Ia sendiri yang membentuk Constin dan melatihnya hingga menjadi prajurit terbaik yang ia miliki.

"Terserahlah." Marius memilih menutup matanya. Dan untuk pertama kalinya setelah mereka tiba di sini, Marius menutup mulutnya. Sekarang waktunya ia pergi dan mengikuti Gian di dalam kelas seperti seorang penguntit.

3/7/21

Dih, si eyang sok-sok kayak anak muda waktu pertama kenal cinta. Inget umur, udah bangkotan 😂

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rumpelgeist [FIN]Where stories live. Discover now