Deep Inside The Fortress

2.9K 621 51
                                    

#QOTD kamu lebi suka kota atau pedesaan?

🌟

Hening.

Gian tidak mendengar suara apa pun dari dalam hutan kecuali suara ranting yang patah karena pijakannya. Atau suara daun yang beradu satu sama lain ketika angin sedikit lebih kencang, menggoyangkan ranting-ranting. Semuanya terdengar seperti simfoni di telinganya. Mengalun lembut, membuat ketenangan mengalir ke seluruh tubuh dan juga kepalanya yang akhir-akhir ini seperti badai yang mengamuk. Apalagi kalau bukan karena rindu rumah.

Hamparan lumut di pohon serta akarnya membuat Gian harus lebih berhati-hati agar tidak terjatuh akibat licin.

Cuaca musim gugur yang intensitas curah hujan tinggi membuat hutan ini terasa dingin dan sejuk. Tangannya menyentuh batang pohon besar sepanjang jalan. Rasa kasar dari kulit pohon yang sudah tua terasa menyenangkan di telapak tangan.

Gian menikmati waktunya di hutan, bukan hal yang sering ia temui dulu sehingga saat pertama kali mengunjungi Tampa ia berjanji akan lebih sering datang. Ia tiba di cerang yang dilihatnya tadi. Hanya tanah tanpa pepohonan seperti tempat lainnya.

"Di sini dulu ada apa, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Mengamati lamat-lamat setiap jengkal lahan kosong itu, seperti ada sesuatu yang menghalangi pohon atau sekedar rumput untuk tumbuh di sekitarnya.

Angin berembus dengan kencang hingga suara gesekan ranting dan dedaunan menimbulkan bunyi gemeresik serta angin yang sejuk menyapa kulitnya. Hingga satu suara mengusik orkestra itu.

"Hanya satu rumah dengan lahan."

Gian berjingkat karena tidak menyangka akan mendengar suara orang lain di sini. Kepalanya otomatis menoleh ke asal suara dan menemukan seorang pria yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuhnya.

Gian melihat sekelilingnya untuk memastikan pria berambut pirang yang berdiri tidak jauh itu sedang berbicara dengannya. Tidak ada orang lain. Sudah pasti dirinya kan yang diajak berbicara? Atau ada makhluk tak kasat mata di sini?

"Ah, okay. Terima kasih," balas Gian. Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena sama sekali tidak mengharapkan ada orang lain di sini. Matanya tidak dapat lepas dari pria yang kini juga tengah menatapnya. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat. Gian memang buruk dalam hal nama, tapi ia dengan cepat mengingat wajah.

Gian bergidik saat melihat senyuman tersungging di bibir pucat itu.

"Pemilik lahan ini mengadakan perjanjian dengan iblis dan ketika ia tidak bisa menepati janji, lahan ini dibakar bersama dengan pemiliknya," lanjut pria itu tanpa ia tanya.

Gian memilih diam.

"Apa lagi kalau bukan karena harta dan kekuasaan. Kalian para manusia mudah sekali ditebak." Kekeh pria itu seraya berjalan mendekat ke arah Gian sehingga ia mundur perlahan, tidak membiarkan pria itu menginvasi jarak yang diciptanya.

"Aku pikir di sini tidak ada hal mistis seperti itu."

"Percayalah, banyak hal yang tidak kau pahami. Apa lagi kau baru hidup selama belasan tahun." Pria itu masih tersenyum, tetapi ada sesuatu dari barisan kalimat itu yang mengusiknya.

Mata Gian otomatis melihat pada kaki pria itu.

Menepak ke tanah berarti bukan hantu kan?

Lalu matanya naik ke atas dan melihat apa yang pria itu kenakan. Celana jeans dengan kemeja kotak-kotak yang kancingnya dibiarkan terbuka sehingga memperlihatkan kaus berwarna putih di dalamnya. Kulitnya memang pucat tapi ia terlihat tampan. Terutama dengan mata biru, seterang langit hari ini.

Mata Gian berakhir di wajah pria itu yang kini alisnya sedang bertaut dan terlihat serius.

"Kita pernah bertemu sebelumnya?" Gian bertanya tanpa ia sadari.

Hanya dengan pertanyaan itu saja raut wajahnya berubah menjadi lebih ceria. "Kau sedang menggodaku?"

Gian memutar bola matanya, "Ramah dan menggoda itu dua hal yang berbeda. Jangan delusional. Aku bertanya karena sepertinya aku pernah melihat kau di suatu tempat."

Pria itu terkekeh kembali dan Gian baru menyadari suaranya yang dalam. "Muka seperti ini sering kau lihat di sini."

"Tidak sepucat kau," balasnya cepat dan pria itu mengedikkan bahunya.

"Kau sebaiknya kembali sekarang." Pria itu menoleh dan menunjuk ke arah kastil.

Kini giliran alis Gian yang bertaut karena dari mana pria itu tahu kalau dia tadi berada di kastil? Lalu akal sehatnya kembali menyerang, membuatnya mengingat hal ganjil selama percakapan mereka. Dan apa? Belasan tahun? Dari mana dia tahu?! Tapi bukannya bertanya hal yang membuatnya penasaran, Gian justru pergi dari sana karena alarm berbahaya di kepalanya berbunyi.

Sebelum terlalu jauh, ia menoleh ke belakang untuk yang terakhir kalinya dan masih melihat pria itu di sana dengan kedua tangan di belakang tubuh. Masih dengan kedua sudut tertarik ke atas, ada kepuasan yang tercetak jelas di ekspresi pria itu. Tetapi, Gian tidak tahu alasannya apa dan itu membuatnya takut. 

1/10/20
Revisi 12/7/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rumpelgeist [FIN]Where stories live. Discover now