Blue Eye

8K 1K 108
                                    

Ada yang terkena dampak banjir?
Kalian aman?

"Kenapa, Gi? Lo habis lari-lari?" tanya sebuah suara ketika Gian sudah menempatkan bokong pada bangku di kelasnya.

Gian perlu mengatur napas berulang kali hingga ia dapat membuka mulut untuk menjawab, "Gue tadi ketemu sama laki di jalan dekat rumah. Seram gue."

"Laki? Jalan rumah lo kan memang seram. Lo yakin itu laki? Bukannya demit?"

"Sudah ganti tahun dan lo masih aja percaya sama demit, La? Seriously?"

"Mulut lo ya, Gi. Di samperin baru tahu rasa lo!" gerutu Lala, namun rasa kesalnya hanya sementara karena kini sudah berganti dengan rasa penasaran. "Lakinya kayak gimana? Ganteng? Punya taring?"

Gian memutar matanya dengan malas. "Apaan sih? Lo mau bilang dia vampir? Wake up, honey, there's no such thing as demit atau vampir kecintaan lo."

"No! Jangan merusak dunia khayalan gue! I still believe they are real!" omel Lala sambil menutup kupingnya dan melotot ke arah Gian yang kini mendengkus, menolak menatap Lala.

"Ya, ya. Anggap aja unicorn benaran hidup kalau gitu," ejeknya sambil meletakkan tas dan mengeluarkan buku untuk mata pelajaran pertamanya hari ini.

"Gue juga percaya unicorn ada di dunia ini. Mereka cuma memilih buat gak mau terlihat sama orang-orang menyebalkan kayak lo." Lala masih terdengar sangat yakin dalam setiap perkataannya.

"OMG, La. Gini deh, lo sebagai orang yang percaya bahwa mereka benaran ada di dunia ini pernah lihat mereka gak?" tanyanya dengan gemas. Ia sangat heran dengan Lala yang percaya sekali pada makhluk tak kasat mata dan juga makhluk imajinasi.

"Gak semua orang bisa lihat mereka, meskipun mereka percaya," kata Lala dengan serius.

"Ya Tuhan, terserah lo deh. Gue gak mau pusing dengar imajinasi lo yang di luar nalar gue pagi-pagi. Itu PR matematika, kan? Gue sontek ya, La!" ujarnya tanpa memedulikan protes Lala karena buku tugasnya disontek dengan paksa.

Lebih baik ia mengerjakan PR dibanding mendengarkan ocehan Lala lebih panjang lagi. Cukup dia mendengar cerita neneknya mengenai demit dan juga melihat penangkal demit yang bertebaran di rumahnya. Jangan sampai dia harus mendengar hal itu juga di sekolah.

Ponselnya yang berada di saku bergetar sekali, tanda ada pesan masuk. Ia meraihnya lalu membuka pesan itu.

Danu

Good morning, baby. Gak lihat kamu lewat tadi, kamu sudah di kelas?

Senyum Gian merekah. Danu, cowok tampan yang dia pacari selama satu bulan ini. Cinta monyetnya yang pertama. Bukan cinta pertama karena cinta pertamanya hanyalah ayahnya yang sudah meninggal satu tahun yang lalu. Bukan juga cinta sejatinya karena dia percaya cinta sejatinya hanyalah pria yang dia nikahi nanti.

"Cengar-cengir aje lo. Kering itu gigi, entar!" ucap suara setelah deritan kursi dari arah depan pertanda seseorang menduduki kursi tepat di depannya.

"Jomlo diam. Sirik kan lo gak dapat chat dari pacar?" cibir Gian sambil mengetikkan pesan balasan pada Danu lalu menekan tombol kirim.

"Oh, honey I don't need that," kata gadis yang duduk di depannya sambil menyibakkan rambut ikal panjangnya yang berwarna cokelat.

"Jan, gue penasaran deh. Dari sekian banyaknya kontak laki di ponsel lo, gak ada satu pun gitu pacar lo?" tanya Lala ke pada gadis itu, Jani namanya.

"Pacaran itu cuma bikin repot," jawab Jani lagi, kali ini dia memerhatikan kukunya yang dia warnai nude. Dia kemudian memerhatikan rambut Gian yang tergerai, "Gue sudah usaha banget deh dapetin warna rambut lo, Gi. Tapi gak pernah dapat warna cokelat terang yang kayak lo gini." Tangannya sudah menyentuh rambut panjang Gian dengan tatapan iri.

Rambut Gian memang berwarna cokelat terang. "Rambut asli lo yang warna hitam itu bagus banget kok, Jan. Gue pengin warna rambut kayak gitu."

"Manusia memang gak pernah puas dan bersyukur ya. Lo punya yang gue pengin padahal lo pengin yang gue punya," ujar Jani sambil memangku dagunya dengan tangan sebelah kiri. "Gue kayaknya bakalan cari calon dari Eropa deh. Biar rambut sama mata anak gue kayak punya lo." Kali ini Jani menatap netra matanya. "Tapi buat punya dua warna mata gitu susah kali ya? Beda kanan dan kiri."

"Gue juga suka banget lihat mata lo, Gi. Warna birunya terang banget." Lala menimpali percakapan mereka. Perhatian keduanya kini jatuh ke mata sebelah kanannya. Mata kanannya seterang langit saat matahari berada di puncaknya. Tanpa awan. Hanya hamparan langit terang. "Lo setiap jalan pasti diberhentiin, karena orang perlu lihat dua kali buat yakin mata lo berbeda warna kanan dan kirinya," lanjut gadis itu.

Gian memberikan cengirannya, memiliki warna mata yang berbeda jelas membuatnya menjadi pusat perhatian. Atau seperti kata Lala tadi, orang akan menoleh dua kali padanya.

"Warna rambut lo yang terang melengkapi warna mata yang kiri. Gue pernah coba pakai lensa kontak supaya kayak lo, eh malah dikira orang gila." Jani menggerutu sedangkan mereka berdua tertawa.

"Eh, eh, tadi Gian ketemu cowok di dekat rumah katanya." Lala membocorkan ceritanya tadi pagi.

Gian lagi-lagi mendapatkan perhatian dari kedua sahabatnya, "Laki, La. Dia sudah terlalu tua buat ukuran cowok." Gian mengoreksinya cepat.

"Oh, ya? Setua apa?" tanya Jani dengan antusias.

"Gak tahu, sekitar kepala dua akhir, mungkin?"

"Aw sugar daddy, me likey," kata Jani dengan genit, "ganteng?" lanjutnya bertanya.

Gian mencoba mengingat rupa pria itu kembali. Mata birunya jelas memikat, tapi alis tebal dan juga rambut berwarna pirang di antara orang-orang yang memiliki rambut gelap di tempat yang dia tinggali jelas menarik perhatian. Bibirnya penuh dan terlihat menyebalkan ketika dia mengejek tadi. Rahangnya tegas dengan jambang tipis yang menutupinya. Tapi, ada sesuatu di tatapan dan juga sentuhan jemari dinginnya yang membuat Gian merinding.

Jani menjentikkan jarinya di hadapan Gian hingga membuat dia mengerjap.

"Jangan bayangin sendiri, dong. Bagi-bagi ke kita. Dia ganteng?"

Belum sempat Gian menjawab, guru mereka sudah masuk dan memulai kelas. Gian sedikit merasa bersyukur karena tidak harus menjelaskan pria itu lagi. Semoga dia tidak akan bertemu kembali.

2/1/20
Repub 20/7/20
Revisi 4/7/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Rumpelgeist [FIN]Where stories live. Discover now