01. Rara dan Babas

490 89 159
                                    

Selamat membaca, dan ... Semoga suka
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Perkenalkan, nama saya Serofina Asrokh. Saya berasal dari SD Bakti Mulya dan hobi saya menulis. Eh, hobi pake dibilang nggak ya?" Aku berpikir sejenak.

"Ulang aja deh. Perkenalkan nama saya Sero--"

"RARA!"

Aku terlonjak.

"KALAU KAMU TIDAK KELUAR JUGA DALAM LIMA MENIT, BUNDA DOBRAK PINTU KAMU!" Aku mengelus dada pelan kemudian menatap pintu kamarku horor.

Aku yakin jika Bundaku yang sangat LEMAH LEMBUT itu, pasti akan melancarkan niatnya jika aku tidak juga kunjung keluar.

"RARA!"

"IYA BUND, BENTAR LAGI!" balasku berteriak dari dalam. Kuyakin para tetangga akan mendumel dengan tingkah kami berdua. Tetapi mau bagaimana lagi, begitulah adanya.

Namaku Serofina Asrokh, semua orang biasa memanggilku dengan sebutan Rara. Cukup aneh! Tapi aku menyukainya.

Sebenarnya aku sudah bangun sejak jam setengah lima subuh tadi. Setengah jam kuhabiskan untuk membantu Bunda mencuci piring dan sholat subuh. Selepas itu aku pergi mandi dan di sini lah waktuku terbuang. Berdiri di depan cermin dengan mencoba untuk melafalkan dialog yang sudah kubuat sejak tadi malam.

Hari ini, adalah hari Senin. Awal dari segala hari menurut hitungan seluruh siswa di Indonesia. Dan hari ini, adalah hari pertama seorang Rara memasuki sekolah baru di jenjang yang lebih tinggi. Namun, aku masih terlalu ragu untuk keluar dari kamar dengan penampilanku. Kurasa banyak kekurangan yang kumiliki saat  bercermin sekarang. Padahal seragam putih biruku sudah disetrika sejak jauh-jauh hari. Perlengkapan sekolah juga telah siap sedia, tidak ada yang tertinggal dan tidak ada yang terlewat. Namun, aku masih tetap saja gugup.

Tok!

Tok!

Tok!

Pandanganku beralih ke arah pintu kamar yang berbunyi. Alisku terangkat sebelah kemudian kembali normal lagi seperti sedia kala.

"Masuk aja, nggak dikunci!" teriakku memberitahu. Kemudian kembali mencoba hafalan dialog yang lebih ringan ke depan cermin.

"Aku laki-laki!"

"Aku tahu!"

Terdengar pemilik suara bariton itu berdecak kesal. Dengan kekehan geli, aku berlari kecil untuk membukakan pintu.

Ceklek

"Babas, kayak baru kenal dua menit aja sih! Tinggal masuk juga. Manja ...."

"Ngapain lama banget, nggak tahu ini jam berapa?" Suara dingin dan wajah datar, itulah Babas. Kenan Alvaro Sebastian, aku memanggilnya dengan sebutan Babas. Dia adalah sahabatku sejak kami masih kecil sekecil-kecilnya. Orang tua kami bersahabat sejak kuliah, dan ikatan persahabatan itu kini telah dilestarikan kembali oleh anak-anak mereka.

"Bentar lagi aku turun, Babas tunggu di meja makan aja. Bunda dah siapin sarapan tuh."

"Tadi kamu bilang lima menit sama Bunda Ra, ini udah berapa menit?!" Suara Bunda menginterupsiku dari arah dapur.

Aku membolakan mata malas, lantas mengunci pintu kamar dengan segera.

"Ya, udah, ayo!"

°°°°°°°

"Nanti di sekolah jangan rewel kamu Ra, jangan centil sama Kakak kelas. Inget, kamu itu masih kecil, masih bau kencur, jangan bikin Bunda naik tensi." Bunda terus mengoceh dan menasehati, oh ralat. Maksudku menceramahiku tentang attitude di sekolah baru nanti. Tenanglah Bund, anakmu ini belum tertarik dengan hal-hal yang semacam itu. Ya ... di SD aku sudah mempelajari hal-hal dasar tentang masa pubertas dan lawan jenis, tetapi naluriku belum berpacu ke sana, dan Bunda ... terlalu berlebihan!

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now