47. Bintang Itu Menghilang

7 3 17
                                    


Aku masih setia menopang dagu meski waktu istirahat telah tiba. Dari sudut mata, kulihat Babas masih berada di tempatnya. Di sebelahku. Jujur, aku masih enggan berbicara padanya. Saat keadaan kelas sudah sepi, ia menggeser kursi mendekatiku, mengubah posisi dan menghadap lurus ke arahku.

"Kamu nggak makan, Ra?" tanya Babas dengan suara yang terdengar serak.

Spontan mataku melirik padanya untuk memastikan bahwa suara yang kudengar tadi berasal dari seorang Kenan Alvaro Sebastian. Ternyata kondisi fisik Babas terlihat berbeda. Pipinya sedikit mencekung dan daerah bawah mata menggelap. Dua hal itulah yang paling mencolok dari wajah Babas. Ia terlihat kurang sehat. Sepertinya.

"Menurut kamu?" jawabku ketus.

Babas tidak merespon lagi. Ia diam dan aku pun sama. Kami membiarkan atmosfer kecanggungan mengisi ruang di antara kami yang tak seberapa ini.

Sebenarnya aku tidak ingin berdekatan dengan Babas. Sejak semalam, setiap aku melihat Babas, yang langsung terbayang olehku adalah wajah Maxie. Sayangnya aku terlalu malas untuk menggerakkan badan imutku ini hanya untuk menghindari Babas, yang sudah sangat dipastikan akan selalu membuntutiku. Sejauh apa pun aku menghindar.

"Ra, aku minta maaf. Aku--"

"Heloo ... epribadeeh ...."

Suara dengan intonasi metal yang sangat familiar hadir dari arah pintu kelas. Hingga membuat aku dan Babas terkejut. Bersamaan dengan itu, wajah konyol Zayus mulai terpampang jelas yang seketika langsung membuat Babas berdecak kesal di tempatnya.

"Ya ampun, sepi banget nih, kelas! Kenapa ya, orang pacaran suka banget sama tempat-tempat sepi?" lontar Zayus sambil sesekali melempar pandangan ke arahku dan Babas. Entah apa maksudnya.

"Derita orang tamvan ya, gini! Nggak di kantin, nggak di kelas, selalu aja ngeliatin adegan uwu! Kapan sih, aku dapet pacar?"

Zayus terus mengoceh sambil mengobrak-abrik isi tasnya. Namun, kuperhatikan matanya, selalu mencuri pandang ke tempatku dan Babas berada. Entah apa yang ia cari. Saat mendapatkan pensil, ia menaruhnya lagi. Begitu pula saat ia mendapatkan buku. Padahal sejak tadi, hanya dua barang itu yang terjangkau oleh tangannya dari dalam tas.

"Ra, aku mau ngomong sama kamu. Tapi kita cari tempat lain aja ya?" Babas kembali mengeluarkan suaranya yang terdengar semakin serak.

"Aduh ... udah kode keras tuh! Telen Ra, telen!"

Babas yang tak sabar segera bangkit dan menggamit lenganku. "Ayo, Ra."

"Hilih! Pake pegangan tangan segala! Inget tempat, woy! Nggak kasian apa sama kondisi jantung anak orang?"

Kupikir, Zayus sedang berbicara pada kami. Namun, saat melihat ia mengomel sambil menghadap tembok, ditambah lagi posisinya membelakangiku, sepertinya dugaanku salah.

"Rara lagi nggak mau ke mana-mana."

"Tapi aku nggak bisa ngomong di sini, Ra." Babas menatap tajam kepada Zayus yang berpura-pura bersiul.

"Kita ke depan aja, ya?" lanjutnya kembali setelah menatapku lagi.

Aku menunduk ke bawah melihat tautan tangan kami berdua. Babas mengikuti arah pandangku. Perlahan tetapi pasti, dapat kurasakan mata Babas menajam bersamaan dengan tanganku yang memang dengan sengaja melepas paksa genggamannya.

"Kenapa?" tanya Babas dengan dingin dan dalam.

Suara datarnya mampu membuat detak jantungku melambat. Namun, untuk saat ini aku memang tidak ingin mengikuti perintah siapa pun. Termasuk dia. Orang yang sangat tidak ingin kulihat untuk saat ini. Rara hanya ingin sendiri tanpa ada orang lain.

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now