19. Sosok Yang Dikenal?

71 35 152
                                    

Jangan lupa untuk tekan bintang ya💜
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Huh ... capek!" Aku terbaring lelah di atas kasur. Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi rasa kantukku sudah sangat terasa dan mataku mulai memberat.

Hari ini, memang hari yang sangat melelahkan. Mulai dari pementasan drama, rapat anggota mading untuk mengadakan lomba cipta puisi, kemudian ... Maxie.

Ya, Maxie. Sempat terjadi perdebatan antara aku dengan dirinya. Kupikir, Babas yang akan marah atau setidaknya kesal dengan langkah yang sudah kuambil tanpa memberitahunya terlebih dahulu.

Sejak dulu, tidak pernah satu kali pun aku bertindak melakukan sesuatu tanpa keterangan Babas. Apalagi sampai mendaftarkan diri dan meluangkan banyak waktu untuk sebuah organisasi yang tidak pernah kami bincangkan sama sekali.

Namun, ternyata lagi-lagi kenyataan mengecoh nalarku. Dulu ketika SD, Babas pernah marah bahkan sampai mendiamkanku selama tujuh jam tujuh menit lebih satu detik hanya karena aku tidak mengajaknya ke kantin dan pergi bersama teman-teman perempuanku yang lain. Babas mengabaikanku dan tidak mau berbicara padaku hingga kami sampai di rumah. Mungkin, jika dulu aku tidak menangis, hati Babas yang sebeku es batu itu tidak akan mencair.

Lah ini? Saat ia tahu aku adalah anggota mading, yang jelas-jelas sudah mendaftarkan diri tanpa sepengetahuan darinya, yang nantinya akan mulai sibuk dengan berbagai macam urusan mading sekolah dan mungkin tidak bisa mempunyai banyak waktu untuknya, hanya diam santai seperti tidak terjadi apapun?

"Kalau Rara anggota mading, yaudah."

Aku memutarkan badan kesamping dan memeluk guling. Ucapan Babas kembali terngiang di ingatanku.

"Apaan, 'Kalau Rara anggota mading, yaudah.' dih, nggak biasanya Babas kayak gitu!" Aku menatap atap kamar dan mencoba untuk mengulik sesuatu.

Babas itu rajanya wajah tanpa ekspresi, tetapi bukan berarti keimutanku tidak bisa curiga dengan kalimat singkatnya itu. Aneh! kata itu yang masih aku rasakan sampai sekarang setiap kali mengingat kalimatnya.

Bukannya Rara tidak percaya atau durhaka kepada sahabat sendiri, hanya saja, ucapan Babas sangat mengganjal di hatiku. Seperti ada yang tertahan dan belum terungkapkan.

"Huh ...." Aku membuang napas dan memejamkan mata. Semakin diingat, semakin melelahkan.

"Ternyata, sampai sekarang Rara masih penasaran sama pengirim misterius itu. Rara masuk anggota mading karena ingin nyari dia kan--orang pengecut yang bersembunyi di balik surat--yang sayangnya berhasil buat Rara penasaran."

"Maxie kira, Rara udah lupain semua itu. Apa sih, yang buat Rara sampai sepenasaran ini sama dia? Dia itu orang nggak jelas Ra! Jangan karena tulisannya bagus Rara beranggapan bahwa orang dibalik surat itu juga bagus. Banyak yang malah di luar prediksi kita jadi kenyataan Ra!"

"Ntah lah, Maxie mau ke kelas aja. Rara sama Babas aja ke kantinnya. Oh, iya lupa. Rara mau ke kantor kan ya, mau rapat, mau terjun di dunia kepenulisan yang Rara suka itu. Selamat ya Ra, semoga bahagia sama apa yang Rara cari!"

Aku membuka mata dan duduk dengan wajah cemberut. Jika kalimat Babas membuatku merasa aneh, beda lagi dengan ucapan Maxie yang panjang lebar menyerangku tadi. Aku ... kesal!

"Maxie nih, makin lama kok makin berubah-ubah ya?" ucapku kemudian mengambil boneka beruang imutku dan memeluknya.

"Dulu, dia baik-baik aja, ramah-ramah aja, semua berjalan normal tanpa masalah kok."

Teman Atau Teman? COMPLETEDOnde histórias criam vida. Descubra agora