39. Siapa? (2)

12 4 6
                                    


Malam ini adalah malam yang banyak angin. Suasana yang dingin ini pun seakan bersekutu untuk menenangkanku. Syukurlah. Setidaknya aku butuh sesuatu yang alami untuk mendinginkan otak pemberian yang maha kuasa ini agar tidak cepat-cepat meledak.

Saat ini aku sedang duduk di rooftop sendirian. Dari sini, dapat kulihat kehidupan malam di kompleks perumahan yang membentang rapi di bawah. Tidak banyak pergerakan manusia, tetapi pencahayaan lampu dan deretan rumah yang tersuguhkan di depan mata benar-benar indah. Semudah itulah aku mencari pelampiasan untuk rasa lelah.

"Rara baru SMP, masih lama menunggu untuk dewasa." Kutatap selembar kertas di selipan jari-jari sebelah kanan yang tadi ikut kubawa ke atas. Sejenak, terlihat guratan-guratan acak pada kertas itu. Senyum kecilku terbit. Mengingat, sejak tadi kertas ini terus kubolak-balik dan kugenggam ke mana-mana.

"Apa karena itu Rara nggak bisa mecahin masalah surat ini, ya? Apa Rara harus nunggu sampai dewasa baru bisa ngerti? Tapi ... kapan Rara akan dewasa?"

Angin malam kembali menghantam wajah imutku yang sedang mencoba berpikir keras. Dingin, itu yang kembali kurasakan. "Apa ... Rara tanyain ke Papa aja kali, ya? Papa 'kan udah dewasa!" Helaan napas kembali terbuang satu menit setelahnya. Sepertinya jika peran orang tua ikut serta dalam masalah ini, hidup indahku akan semakin runyam. Belum lagi saat memikirkan reaksi Bunda yang mendengar anaknya telah banyak mendapat 'surat' dan 'puisi' dari orang yang tak dikenal.

Ouh, ini bukan ide yang sempurna!

"Kita berdua ibarat sebuah simpul di tengah ikatan, saling mengikat meski bertolak belakang. Aku mengenalmu dan kau mengenalku."

Sepertinya ....

"Baiklah! Rara akan usahakan yang terbaik! Kuas Tak Bertinta, sampai jumpa sebentar lagi!"

°°°°°°°

"Pagi, Gizan!"

"Pa--pagi!"

Wajah terkejut Gizan langsung terpampang saat suara imut ini menyapanya. Senyumku semakin mengembang puas ketika wajahnya semakin terlihat ketakutan dan nyalinya menciut. Uh, kenapa aku merasa menjadi orang jahat di sini?

"Gizan kok, mukanya ketakutan gitu?"

"Eng ... enggak, kok." Jawaban Gizan sangat tidak sinkron dengan gerak tubuhnya.

"Kacamata Gizan udah oke. Kenapa sih, dari tadi dibenerin mulu?" Merasa tertohok, Gizan pun menghentikan kegiatannya dari pembenahan letak kacamata yang sebenarnya sudah sangat pas.

"Ada a--apa, Ra? Ju--ju--mpain, aku?" Dengan gusar Gizan menghela napas. Setelah kacamata, kini ia mulai membenahi posisi duduknya. Namun, bagiku saa ini ia malah terlihat seperti orang yang tengah kebakaran ... pantat?

"Oh, iya. Rara cuman mau ngasih tahu sama Gizan ... buat jumpai Rara di ruang mading satu, setelah istirahat kedua. Bisa 'kan?"

"Ru--ruang mading? A--aku ... nggak bi--bisa, a--aku, ha--harus, pe--pergi ke ...."

"Wah, Gizan baik banget mau luangin waktu buat Rara! Makasih, ya. Bay Gizan ... Rara tunggu loh!"

Tanpa mendengarkan perkataannya lagi, aku segera kembali ke tempat dudukku bersama Babas. Gizan tidak berkata apa-apa lagi. Namun, sangat jelas kulihat dari belakang bahwa tubuhnya menegang sampai ke wajah. Hm, menarik!

°°°°°

Tumpukan kertas, tumpukan kertas juga dan ... tumpukan kertas lagi. Ya, aku sedang bersama tumpukan kertas yang sangat banyak dalam suatu ruangan. Namun, jangan khawatir. Tumpukan kertas ini tidak akan membuat mata kalian sakit atau menyesakkan paru-paru. Semua kertas yang ada di sini tersusun dengan sangat rapi. Begitulah kira-kira keadangan ruangan mading lama di sekolah kami. Kadang juga disebut sebagai ruang mading satu.

Tak lama ketukan pintu terdengar, lalu knop pintu berputar dan ... seseorang muncul.

"Sini, Zan, duduk."

Gizan bergerak lambat untuk menutup pintu. Kemudian ia mulai berjalan dengan langkah ragu mendatangiku. Hey, ayolah! Sikapnya ini seakan-akan ia sedang mengantarkan nyawa kepada Algojo! Yang benar saja? Ini Rara! Makhluk terim ... baiklah, lupakan dulu masalah ini.

"Nga--ngapain kita di--di sini, Ra?" tanyanya saat menarik kursi hendak duduk.

"Sabar ya, Zan. Kita tunggu yang lain dulu." Gizan terkejut akan jawabanku.

"Ya--yang ... lain? Maksudnya?"

Kebingungan Gizan segera terjawab saat ketukan pintu yang lebih mirip seperti gedoran terdengar dari luar.

"Rara ...." Suara ceria penuh semangat terdengar setelah pintu terbuka. Namun, senyum manis di bibir lelaki itu hilang seketika dalam hitungan tiga detik.

"Loh, itu siapa, Ra?" Maxie menatap bingung kepada Gizan yang duduk di depanku masih dengan wajah kaku dan gerogi. Padahal Maxie sudah pernah bertemu dengan Gizan, apa ia lupa? Ngomong-ngomong, tubuhku terbatas oleh meja dengan Gizan dan kami duduk saling berhadapan.

"Maxie sini dulu, nanti Rara jelasin." Maxie mengangkat bahunya acuh tak acuh kemudian berjalan ke arah belakang dan mengambil sebuah kursi. Ia menarik kursi tersebut dan duduk di sebelahku.

"Jadi ... kita mau ngapain? Katanya Rara mau minta bantuan sama Maxie?"

"Bentar ya, Maxie. Kita nunggu semuanya ngumpul dulu."

"Semua?" Maxie dan Gizan bersuara dengan serempak. Spontan mereka saling tatap dan akhirnya melempar tatapan bingung kepadaku di detik selanjutnya untuk sebuah penjelasan.

"Ada lagi yang mau ditunggu?" Suara berat dengan nada dingin yang terdengar malas untuk berbicara menarik atensi kami semua. Seorang lelaki bertubuh jangkung tengah melipat tangan di depan dada sambil menatap kami dengan kelopak mata mengantuk. Em, sepertinya menatapku. Namun, tak lama tatapan itu dibuang.

Tanpa permisi, ia masuk dan melakukan hal yang sama seperti Maxie. Menarik kursi dan duduk di sebelah kananku. Saat ia duduk, entah kenapa aku mulai merasakan hawa dingin yang mencekam. Mungkin ... karena aku sudah menyita waktunya?

"Hehe ... Babas nggak jadi ke perpus dulu?"

"Udah!" Babas melempar buku kecil ke atas meja, em ... bukunya lumayan tebal. Hampir menyerupai kamus. Setelahnya, ia mulai membaca tanpa memperdulikan lagi keadaan sekitar.

Wah, Gizan semakin menciut. Bagaimana tidak? Saat ini posisinya seperti sedang dihakimi. Sementara posisiku, seperti seorang putri yang tengah dijaga oleh dua pangeran tampan yang ... baiklah, lupakan.

"Sabar ya, Gizan, Maxie, Babas, kita tunggu satu orang lagi."

Serempak semua kepala langsung mengarah kepadaku. Hey, tidak harus sekompak ini juga, bukan? Kenapa mereka mendadak menjadi satu pergerakan begini?

Apa ini hal yang sangat menegangkan sampai mereka tidak bisa hanya duduk tenang, diam dan dengarkan aku saja? Kenapa lirikan mata Babas harus sejam itu? Wajah Gizan juga semakin menegangkan! Dan Maxie ... oh, sekarang ia sudah berwajah sendu kembali. Baiklah, mereka memang patut dikumpulkan dalam satu meja!

"Em ... maaf semua. Apa aku terlambat?"

°°°°°°°°

Bagaimana hari kalian?

Jangan lupa tinggalkan jejak imut kalian💜

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now