38. Jalan Terakhir.

12 5 18
                                    


"A--aku, nggak bisa ngasih tau la--langsung sama ka--kamu, Ra. Petunjuk u--udah ada, di tang--an kamu. Surat yang dikirimkan sama kamu, surat itu, kamu bisa nyari jalan keluar dari sa--sana."

"Kenapa nggak langsung Gizan kasih tau aja, sih? Gizan pasti kenal sama Kuas Tak Bertinta itu, 'kan?"

"Ma--maaf, Ra. Aku ... nggak bi--bisa."

Di sinilah sekarang aku berada. Di dalam kamarku dan duduk di kasur dengan memangku sebuah kotak. Selama tiga belas tahun, kamar bermotif Doraemon ini sudah banyak menyimpan kisah di dalamnya. Kamar yang sama, di mana sekarang kertas-kertas yang membuatku pusing beberapa waktu lalu, siap tereksekusi satu per satu.

"Oke, Rara mulai."

Dimulai dengan mengambil kertas berwarna dasar biru langit dengan motif bintang yang berkelip. Ini adalah kertas sekaligus surat pertama yang kutemukan tepat di dalam lokerku. Melihat bintang yang bertabur indah di atas kertas biru tersebut, mengingatkanku tentang bagaimana sejuknya hati ini saat pertama kali membaca surat itu dulu.

"Aku hanyalah kuas yang tak bertinta. Mimpiku, ingin meninggalkan satu goresan yang bisa membuatmu tertawa. Maukah kau membantuku menemukan caranya?"

Namun, siapa sangka, awal yang kusangka indah malah membuat kepala imutku menjadi pusing tujuh keliling?

"Sebenarnya apa sih, maksud si Kuas Tak Bertinta ini nulis begituan? Oke, emang secara gak langsung dia udah pake nama Rara di setiap puisi yang tertempel di mading. Tapi buat apa cobak? Kalau mau temenan, kenapa nggak samperin aja Rara langsung?"

"Lama-lama ... Kuas Tak Bertinta ... bikin Rara takut." Menghela napas. Baiklah, aku harus sabar. Tidak mudah memang bagiku yang super imut ini untuk bekerja berat, seperti contohnya adalah saat ini, berpikir keras. Meski kapasitas otakku memang terbilang cukup tinggi dari taraf kucing tetangga yang saat ini sedang asyik memakan ikan bakar, aku tidak boleh sombong. Kasus ini, akan kuteliti dengan jeli dan juga seksama tanpa ada kata sepele yang tercipta di dalamnya.

"Oke, Ra, tenang ... sabar ... senyum! Kita mulai lagi."

Kualihkan kertas cantik tadi dan kembali mengikatnya dengan pita merah seperti sediakala. Sejak kemunculan surat ini dan puisi-puisi dari Tuan Misterius Kuas Tak Bertinta, aku mulai memiliki hobi baru menjadi pengoleksi. Yup, aku mengumpulkan semua keterangan yang berkaitan dengan Kuas Tak Bertinta di dalam kotak ini. Mulai dari surat pertamanya, puisi-puisi berkalimat rumit miliknya, dan hal-hal lain yang menurutku bertopik padanya akan segera kusatukan ke dalam kotak yang sekarang tengah kupangku di atas paha.

Kini aku beralih kepada kertas lain. Ada beberapa kertas berwarna dasar serempak. Hitam putih. Isi dari kertas ini adalah puisi-puisi dari Kuas Tak Bertinta yang menginisialkan namaku sebagai objek penerima puisi tersebut. Ini juga salah satu alasanku bergabung pada ekskul mading. Meski melenceng dari aturan, setidaknya aku bisa mengumpulkan puisi-puisi milik Kuas Tak Bertinta dan siapa tahu yang dikatakan Gizan memang benar? Aku bisa menemukan dalang di balik nama misterius yang selama ini kukenal dari kertas-kertas ini. Kuas Tak Bertinta.

Tanpa sengaja, jemariku menarik sebuah kertas yang terlipat asal dari tumpukan kertas-kertas yang lain. Kertas ini sedikit asing. Atau ... aku yang lupa pernah mengumpulkan kertas ini juga?

Bersama keraguan kumencoba untuk hadir, dengan ingin yang selalu kuciptakan agar  bisa menjadi nyata.

Mungkin mudah bagi bulan dan bintang untuk bersama. Mudah juga bagi dirimu untuk mengenal dan mencariku.

Pertanyaannya adalah, apakah mudah bagi hatimu untuk menerimaku setelah nanti menemukanku?  Setelah nanti kau tahu siapa aku?

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now