44. Ini Menjadi Akhir?

10 4 6
                                    


Pagi yang sama, di mana mentari yang terlihat keemasan sudah mulai menerangi bumi kembali. Seperti biasanya. Namun, untuk pertama kalinya aku mengamati sesuatu yang tidak pernah kupentingkan. Pergerakan alam. Semua selalu bergerak untuk datang dan akhirnya pergi.

Terlihat kaca jendelaku mengabur karena embun. Dengan pelan kutarik pengaitnya dan mendorong jendela itu agar terbuka. Semua kulakukan dengan perlahan. Seakan aku ingin menikmati pagi ini dengan cara yang berbeda dan tanpa batas.

Angin pagi bertiup, tetapi tidak sedingin angin malam, itu yang kurasakan saat jendelaku terbuka.

"Perubahan akan selalu ada seiring dengan pergerakan. Namun, apa kesiapan selalu menyertai setiap aspek yang ada?"

Sebentar!

Apa yang baru saja kuucapkan?

"Ya Allah ... Rara barusan ... nggak kesambet Mimi Peri 'kan? Kok, otak imut Rara bisa ngerangkai kata-kata yang--duh, pusing!"

°°°°°°°

Sekitar sepuluh menit kaki imutku telah menggoes sepeda ke sekolah. Tentunya dengan dua prajurit berkedok sahabat yang selalu ada di sebelahku. Babas dan Maxie. Ya, mereka berdua. Mungkin, mereka adalah sebuah kehadiran yang tidak pernah berubah.

Kulirik Babas yang ... tolong jangan bayangkan bagaimana cara aku meliriknya. Mengingat kondisi postur kami yang sangat  berbeda, bisa dikatakan aku sedang menoleh saat ini, bukan melirik. Namun, tetap saja. Niatku adalah melirik!

Kulirik Babas yang sedang berjalan di sebelah kananku, lalu kutolehkan wajah imut ini menghadap Maxie yang berada di sisi yang lain setelahnya.

"Maxie, kalau berbohong itu ... kasusnya berat, nggak?" Dengan posisi wajah yang masih menghadap Maxie, dapat kurasakan Babas juga ikut menoleh.

"Tergantung kasusnya Ra. Kalau pejabat yang berbohong dan merugikan orang banyak, itu bisa dianggap penipuan sih. Bisa dipenjara juga."

Aku mengangguk-angguk sambil memalingkan wajah kepada Babas. Ekspresinya masih saja sama, datar.

"Kalau bohong sama sahabat sendiri, bisa dapet sanksi dari pemerintah nggak, Bas?" Kini giliran si Es Batu yang kutanya.

Kami yang sedang berjalan beriringan seketika berhenti secara bersamaan. Bukan niatku untuk menghentikan langkah. Namun, apa daya? Babas dan Maxie mendadak menjadi kaku dan memasang ekspresi yang berbeda satu sama lain. Saling  menghadapku.

"Kenapa? Kok, muka kalian tegang gitu?" Kutatap Babas tepat di matanya.

"Kayak ngerasa pelakunya aja!" lanjutku masih dengan menatap mata Babas yang terdiam.

"Em ... anu, Ra." Aku menoleh kepada Maxie.

"Iya, kenapa Maxie?" tanyaku yang entah mengapa malah memamerkan senyuman termanis. Namun, mungkin karena senyum ini terlalu kupaksa, kesannya malah aku seperti sedang mengintimidasi Maxie.

"Ka--kalau em ... itu, kalau bohong sama sahabat sendiri, kalau bisa ya, Ra. Jangan lapor polisi. Menurut aku sih, nggak ada sangkut pautnya sama pemerintahan." Sebentar, Maxie menganggap sindiranku yang lalu itu ... serius?

"Emangnya kenapa Max, kalau ada masalah harus lapor sama pak polisi 'kan?" tanggapku mencoba mengikuti alurnya.

"Kantor polisi memang tempat untuk meminta tolong, Ra. Tapi bukan berarti jadi tempat curhat juga kali." Baiklah, Maxie. Di saat otak imutku mulai sedikit pintar, kenapa sekarang giliran kamu yang ... lupakan!

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now