41. Si Penulis

19 5 9
                                    


Pertama kali ada di ruangan ini, yang kurasakan adalah kenyamanan. Tanaman bunga yang dihias dan menggantung indah dekat jendela itu, terlihat sudah lebih membesar dibandingkan dulu ketika aku baru melihatnya. Meski waktu itu keributan antara Zayus dan Hana memenuhi ruangan, setidaknya itu jauh lebih baik daripada rasa hening yang melingkupiku saat ini. Rasanya, seperti tercekam!

Sejak masuk ke dalam, Gizan langsung meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Ketika ia pergi, yang kulakukan hanyalah duduk dan mengamati bingkai-bingkai foto yang ada di dinding dan meja kayu milik keluarga Gizan. Mungkin menendang-nendang kaki meja kaca di depanku juga bisa terhitung sebagai pergerakan untuk menghilangkan kebosanan? Ouh, ini benar-benar mencekam, menyebalkan dan meresahkan!

Aku berharap, ibu Gizan mendapatkan cuti mendadak dari pekerjaannya agar ia bisa pulang dengan segera. Atau paling tidak, ada tetangga baik hati yang tiba-tiba menitipkan anaknya ke sini sebagai teman bicaraku. Apa-apaan ini? Sudah hampir lima belas menit aku duduk tegang di sini. Sendirian pula. Ke mana perginya si pemilik rumah yang tak bertanggung jawabnya membuat tamu imut ini kebingungan, keletihan, ketakutan dan kehausan?

"Tau gini, Rara dateng bareng Babas aja!"

Napasku tercekat dan nyaris hilang ketika dengan tiba-tiba, Gizan membanting sebuah kotak berwarna biru ke meja. Masih dengan jantung yang berpacu cepat, pandanganku beralih kepadanya. Kulihat ia sudah mengganti seragam sekolah menjadi kaus oblong berwarna cokelat tua dengan jeans selutut sebagai celana. Rambutnya sedikit berantakan, seperti berulang kali disugar secara kasar. Eits, ada yang berbeda! Dia ....

"Eghm! Gi--Gizan nggak pakai kacamata?"

Gizan menoleh kepadaku, hanya sebentar. Setelahnya ia pergi ke dapur dan kembali lagi dengan dua buah minuman dingin di tangannya. Juga dengan kacamata yang bertengger tepat di pangkal hidung mancung lelaki itu.

"Ta--tadi, keting--galan," ujarnya menerangkan pertanyaanku yang lalu. Sepertinya.

Saat Gizan menyerahkan gelas yang berisi minuman dingin tersebut, segera kutenggak kandas airnya tak bersisa dalam hitungan detik. Aku hanya bisa menyengir imut saat Gizan kebingungan melihatku yang kesetanan menenggak minuman yang ia berikan.

"Hehe, maap ya, Zan, Rara nggak sopan. Soalnya haus." Lelaki itu mengangguk sekali, lalu melanjutkan minumnya.

Kuletakkan gelas kosongku di atas meja. "Jadi, kita mau ngapain di sini?" tanyaku dengan semangat. Mungkin ini efek dari minuman dingin tadi.

"I--tu, a--aku ba--wa kotak. Ka--kamu, periksa a--aja."

Oh, jadi kotak ini yang harus kuamati? Baiklah!

"Oke, deh!"

Kuluruskan kedua tanganku ke depan, menggerak-gerakkan seluruh jemari secara gemulai, lalu menghentakkan kedua tanganku secara bersamaan.

"Rara ngapain?"

"Peregangan sebentar."

Baiklah, sekarang aku akan melakukan sesuatu. Meskipun aku tak tahu apa yang harus kulakukan, yang pasti aku yakin, bahwa dengan kotak ini, aku akan menemukan jawabannya. Ya, yang harus kulakukan hanya membongkar, meneliti dan melihat, bukan? Ah, serahkan tugas mudah itu kepadaku.

"Eh, bentar. Kok, semua isi kertasnya kosong, Zan?"

Gizan yang masih duduk santai di tempatnya mengabaikan pertanyaanku dengan kembali menenggak minuman dingin itu. "Pe--periksa aja, dulu," terang Gizan setelah dua tenggukan air melewati kerongkongannya.

"Apa yang mau diamati coba? Isi di kotaknya cuman potongan-potongan kertas sisa. Nggak ada tulisan. Benda lain juga nggak ada! Apa yang harus Rara periksa? Gizan pikir, Rara bisa baca tulisan tak kasat mata gitu?"

Teman Atau Teman? COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang