37. Terkuak?

16 8 16
                                    


Tidak terasa tiga belas tahun sudah tubuh mungilku menapaki indahnya dunia. Dan tidak terasa, ujian semester sebentar lagi akan tiba. Bersama Babas dan Nemsy, kumulai kembali hari-hari bahagiaku menuju sekolah. Bukan berarti aku melupakan kejadian tempo lalu karena kesenangan tak terduga yang kudapatkan. Kuas Tak Bertinta sudah berulah lebih berani Sabtu lalu. Dan untuk itu, satu nama sudah kusimpan sebagai buronan. Lihat saja nanti, Gizan tidak akan kubiarkan lepas.

Senyumku sedikit meredup. Di dekat pohon beringin pada simpang tiga, seorang lelaki tengah duduk di sepedanya memamerkan pesona gingsul kepadaku dan Babas. Tanpa perlu menarik rem, lelaki itu langsung mengayuh pedal sepedanya. Bergabung bersamaku dan Babas.

"Hay, Ra!"

"Hay, Maxie!"

Sapaan hangat dari wajah manis Maxie membuatku kembali tersenyum. Namun, ketika mengingat kalimat Maxie malam itu, senyumku hampir luntur lagi.

"Al, kamu nggak capek apa masang muka lempeng gitu?" Babas menoleh, lalu sahabat es batuku itu membuang wajah ke depan tanpa menjawab pertanyaan Maxie.

"Dih, kamu berdosa banget! Ketahuilah, Al, bahwa ketika engkau mengabaikan makhluk manis sepertiku, niscaya instan azab akan segera mendatangimu!" Bersamaan dengan terlepasnya kalimat  itu, ban sepeda Babas menabrak lubang yang ada di jalan. Untung saja Babas memiliki kaki yang panjang hingga adegan ciuman dengan aspal bisa ia elakkan. Babas berdecak saat tawaku dan Maxie menyerangnya.

"Kok, bisa kebetulan gitu ya, Max?"

"Bisa dong, Ra. Itu karena Al kebanyakan menzdolimi Maxie!" Babas melirik sinis kepada kami berdua. Tentu saja kami kembali tergelak melihat tingkahnya.

"Al, kamu mau denger lelucon nggak?" Aku menghentikan tawa. Terlihat fokus Maxie sekarang teralih penuh pada Babas yang hanya diam tanpa mau menoleh ataupun menjawab..

"Dulu, ada dua ekor beruang yang ketemu sama seekor merpati. Meski sangat nggak masuk akal, akhirnya ketiga hewan itu berteman." Di depan ada tikungan, kami pun membelokkan stang dan membiarkan roda berputar sendiri tanpa mengayuhnya. Ketika roda mulai berhenti bergerak, secara serempak kami mulai mengayuhnya kembali.

"Aneh memang, tapi kedua beruang itu merasa nyaman berteman dengan si merpati. Merpati selalu datang jika ia melihat dua beruang itu sedang duduk atau mengobrol. Mereka menghabiskan waktu dengan canda dan tawa."

"Tapi, suatu ketika, si merpati menyukai salah satu beruang dan membenci beruang lainnya. Ia mulai mencari cara untuk menjauhkan beruang yang ia benci dari beruang yang disukainya." Babas menoleh kepada Maxie.

"Tapi merpati nggak berhasil. Karena lelah memisahkan kedua beruang itu, merpati meminta ijin untuk pergi," sambung Maxie.

Kami sudah memasuki gerbang sekolah dan sekarang sudah sampai tepat di parkiran sepeda. "Kenapa merpatinya pergi?" Maxie tersenyum saat aku yang baru menyagakkan Nemsy menyuarakan pertanyaan.

"Karena si merpati merasa, dia nggak pantes ada di tengah-tengah dua beruang itu lagi. Mungkin si merpati bukan pemeran utamanya di sana. Jadi ...." Kami menghentikan langkah saat Maxie yang ada di depan berhenti. Lelaki itu menatap ke atas langit dan bergumam, "Mungkin udah waktunya bagi Merpati itu untuk pulang." Lelaki bergingsul itu pun menoleh ke belakang, menatap wajahku dan Babas bersamaan. "Ke tempat yang seharusnya," lanjutnya lagi kemudian tersenyum.

Hening.

"Lelucon?" Babas bersuara, Maxie yang mendengar mulai menaikkan tas di punggungnya kemudian mengangguk. "Lelucon yang jelek. Nggak ada yang lucu sama sekali!" komentar Babas ditanggapi dengan tawa meledak dari Maxie. Dasar Maxie, kenapa ia selalu saja memiliki tawa yang berlebihan seperti ini? Berapa banyak cadangan tawa yang ia punya.

Teman Atau Teman? COMPLETEDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora