48. Kehilangan Dan Kenangan.

7 4 10
                                    


Kelap-kelip lampu menghiasi malam di tengah keramaian kota. Meski malam yang dingin ini meninggalkan banyak jejak embun, tak membuat berbagai macam kegiatan para manusia itu berhenti.

Dari balik kaca mobil, kulihat semuanya terus berlalu. Mereka melakukan jeda, hanya untuk sementara di suatu tempat. Pada akhirnya, mereka semua akan pergi meninggalkan tempat persinggahan itu dan kembali pada tempat asalnya. Dari ramainya manusia yang berlalu lalang, sebuah pertanyaan tiba-tiba hinggap dalam benakku.

Maxie sekarang ada di mana?

Sebutir bulir hangat kembali lolos dari mata. Belum apa-apa, aku sudah membayangkan bagaimana hampanya untuk menjalani hari-hari esok. Mengingat aku tak lagi bisa menemukan wajah manis dari pemilik pupil kecokelatan itu. Kenapa semua terasa begitu cepat? Dia baru saja sadar dari tidur panjangnya. Kenapa Tuhan sudah menyuruhnya untuk tidur kembali?

"Rara ...."

Bunda menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hingga perutku bertabrakan dengan perut buncit Bunda. Biasanya, aku akan mengomel akan keteledoran Bunda karena membuatku tanpa sengaja telah menganggu calon adikku di dalam sana. Namun, kini aku tak sanggup untuk bersuara lagi.

Aku menutup mata dalam pelukan Bunda. Menikmati setiap kehangatan yang mulai menjalar ke dalam tubuhku. Mata ini terasa berat. Sepertinya sudah membengkak. Aku tidak sadar, bahwa tadi aku telah menangis sampai tertidur di pelukan suster yang menahan tubuhku. Sekarang, bisakah aku beristirahat sebentar?

Semoga saat aku terbangun nanti, ada sebuah lelucon konyol keluar dari mulut si pemilik gingsul. Semoga tadi itu, ia hanya sedang menakut-nakutiku saja. Aku mulai merindukan wajah manisnya.

°°°°°°°

"Ra ... bangun, Nak. Udah pagi, kamu sekolah tidak?"

Itu suara Bunda. Meski masih samar-samar saat kuberusaha membuka mata, aku bisa memastikan bahwa wanita dengan perut buncit yang duduk di kasur itu adalah Bunda.

"Atau kamu libur aja deh, badan Rara hangat. Kamu mau deman kayaknya, Ra."

Aku mulai bangun secara perlahan. Mengubah posisi menjadi duduk, kemudian mataku beralih menatap Bunda yang juga sedang menatapku.

"Bun ... semalam kita pergi ke mana aja?"

Bunda mengerutkan dahinya terlihat kebingungan. "Kamu lupa? Atau ... kamu hilang ingatan ya, Ra?"

Meski terdengar menjengkelkan, Bunda terlihat benar-benar khawatir. "Rara mau mastiin aja."

Bunda terdiam cukup lama. Kupikir Bunda akan mengatakan kalau 'kita tidak dari mana-mana' atau Bunda akan berkata 'semalam kita bertiga sama Papa habis jalan-jalan, kamu minta beliin es krim banyak banget, tapi nggak Bunda kasih. Makanya kamu nangis sampai bengkak gitu tuh, mata.'

Namun, apa yang kuharapkan tidak pernah terjadi.

"Kamu nggak lupa 'kan Ra, semalam itu kita habis dari rumah sakit. Teman kamu yang namanya Max itu sudah--"

"Bunda Rara mau mandi dulu. Entar Rara bakal turun ke bawah buat sarapan."

Setidaknya, jika aku gagal berharap itu semua hanyalah mimpi. Tidak ada lagi yang mengingatkanku akan ketiadaan Maxie. Aku belum sanggup.

°°°°°°°°

"Pa, hari ini Rara boleh nggak dianter aja ke sokolahnya? Rara lagi males bawa Nemsy."

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now