29. Mungkinkah Ini Titik Terang?

36 8 28
                                    


Seminggu telah berlalu sejak insiden pertengkaran antara Maxie dan Babas tempo lalu. Keakraban antara aku dan Maxie juga berangsur-angsur mulai pulih seperti biasanya. Hanya saja, terkadang aku menangkap gelagat Maxie yang seolah sengaja mencuri-curi kesempatan untuk pamit sebentar, kemudian hilang tidak tahu ke mana.

Pernah sekali aku menemukan Maxie sedang duduk diam di bawah pohon kayu besar tepatnya di belakang sekolah. Tempat itu menjadi pertemuan keduaku dengannya setelah pertama kali kami bertemu di depan toilet lelaki waktu aku keliru ketika akan melaksanakan hukuman dari Bu Nining berbulan-bulan yang lalu. Pohon kayu itu juga yang menjadi awal pertemuan antara Babas dan Maxie yang berlanjut menjadi persahabatan kami bertiga.

Namun, bukan momen itu yang saat ini kupikirkan ketika mengingat Maxie yang duduk sendirian di bawah pohon kayu tersebut. Melainkan asap tembakau yang mengepul di sekelilingnya yang sangat menarik perhatian. Maxie merokok. Ya, dia sering pamit dengan alasan 'sebentar' padaku, kemudian ia akan merokok di bawah pohon kayu tersebut.

Ia sudah pernah mengakui kebiasaannya tersebut padaku bersamaan dengan pasal luka bakar di lenganku ini. Meski begitu, Maxie tidak pernah merokok di depanku. Bahkan aku tidak pernah menemukan stok rokoknya baik di saku celana atau kemeja sekolahnya. Atau Maxie terlalu pandai menyembunyikan benda tersebut?

Huh, ntahlah! Kuharap ia segera menghentikan tingkah sembunyi-sembunyinya itu dalam merokok. Bukan berarti aku memberikan kode agar ia merokok secara terang-terangan. Cukup menyadari bahwa itu berbahaya dan tidak baik bagi kesehatan. Itu yang kuharapkan.

"Ra, aku gabung sama tim futsal dulu ya! Jangan lupa sempetin buat nonton aku loh!" Maxie bersuara dengan girang kemudian berlari menuju gerombolan anak lelaki yang tengah berdiskusi bersama Pak Aldebaran. Itu adalah tim futsal Maxie.

"Pasti!" jawabku tak kalah semangat.

Tinggallah aku berdua bersama Babas yang sejak tadi bersikap dingin. Sedikit info, Babas dan Maxie masih terlibat perang dingin. Karena lelah menghadapi tingkah mereka yang tidak mau mengalah, terlebih Babas, aku memilih membiarkannya saja. Kuharap mereka bisa cepat kembali seperti dulu. Walaupun tak sehangat perlakuan mereka padaku, tetap saja bermusuhan itu tidak bagus.

"Eh, Rara. Jumpa juga akhirnya. Boleh minta bantuan nggak?" Suara lelaki yang terdengar begitu ramah menarik perhatianku, begitu pula Babas. Kulihat ada semburat tidak suka di wajah Babas saat mengetahui siapa dalang di balik suara yang menyapa kami tadi.

"Kak Lidan? Hay! Boleh kok, Rara senang banget bisa bantuin Kakak!" jawabku kelewat senang. Ngomong-ngomong, sudah lama aku tidak melihatnya belakangan ini.

"Eghm!" Baiklah, Babas mulai mengeluarkan dehaman meresahkan itu lagi.

"Yaudah, kalau gitu kita ngomonginnya di sana aja ya. Bareng ma anggota mading yang lain. Persiapan hari jadi sekolah udah makin deket soalnya. Emm ... kamu nggak lupa kan, Ra?"

"Astaga!" Kutepuk jidatku pelan. Bisa-bisanya aku lupa dengan masalah penting seperti ini.

"Hehe ... inget kok, Kak. Emm ... tapi kemarin, tugas kita cuman ... ngedata doang kan?"

Kak Lidan tersenyum lembut membuatku merasa canggung. Semoga tidak ada tugas penting yang kulewatkan. Karena belakangan ini, aku memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dua sahabatku. Terlebih Maxie yang baru saja mulai aktif bersekolah lagi.

"Sebenernya banyak, tapi Kakak belakangan ini susah banget mau ketemu Rara. Setiap Kakak dateng ke kelas Rara, kamu udah pergi keluar katanya. Kita juga udah jarang ketemu kalau pagi di ruang mading karena Kakak selalu sibuk latihan sama anak futsal yang lain."

"Kakak dateng ke kelas Rara? Cuman buat ketemu Rara?" Kak Lidan tersenyum manis.

"Tapi kamu udah keburu nggak ada Ra. Katanya pergi sama Al." Kulihat Kak Lidan melirik sebentar kepada Babas yang sejak tadi berwajah datar tanpa suara.

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now