40. Pembuktian

10 3 6
                                    


Seluruh pasang mata bergerak seirama menangkap sosok baru yang masih berdiri di ambang pintu. Jika melihat dari postur tubuhnya, jelas ia lebih tinggi, lebih ber-body dan lebih cantik dariku. Namun, dia kalah di topik keimutan. Ya, gadis cantik itu bernama Rena, Kakak kelas ekskul mading yang sengaja kuminta kehadirannya di sini.

"Kakak cantik banget, ya? Jangan gitu ah, liatnya. Tuh, kan, jadi malu ...," ucap Kak Rena menyadarkan.

Aku yang tertawa canggung pun segera mempersilakannya untuk duduk. Kak Rena mengangguk maklum kemudian berjalan ke arah meja yang telah terisi oleh empat orang termasuk diriku. Ternyata Kak Rena lebih memilih duduk di samping Gizan yang sejak tadi terus melihat ke bawah.

"Jadi, kita mau ngapain di sini, Ra?" tanya Kak Rena sambil meminum es yang ia pindahkan ke dalam sebuah botol minum berbentuk panda. Melihatnya aku segera menggeser laci bawah dan mengeluarkan botol minum mineral untuk dibagikan secara merata. Mengingat aku akan melakukan pembicaraan panjang, jadi antisipasi itu perlu, bukan?

"Karena semua udah pada ngumpul. Rara bakal jelasin tujuan Rara manggil Kakak dan kalian semua ke sini."

Mendadak otak mungilku kehilangan keimutan. Zat-zat imutku berangsur-angsur bertukar menjadi keseriusan. Pertama, aku mengeluarkan selembar surat. Kak Rena meletakkan botol minumnya dan beralih menelisik surat tersebut. Kemudian matanya melihatku diikuti oleh mata-mata yang lain.

"Surat dari siapa ini?" tanya Kak Rena akhirnya.

"Itu dia yang bakal kita cari tahu sekarang, Kak." Tatapanku terlempar ke masing-masing orang. Pertama kepada Gizan, Babas, Maxie, selanjutnya Kak Rena sendiri.

"Caranya?" tanya Maxie.

Sambil mengetuk-ngetuk jemari, aku menjawab, "Itu dia yang Rara nggak tahu."

"APA?"

Senyumku mengembang malu. "Hehe ... tujuan Rara manggil kalian semua, ya ... untuk nyari tahu siapa yang ngirim surat ini."

Terlihat berbagai macam ekspresi kekesalan dari mereka yang ada di depan dan sampingku.

"Ini surat dari Kuas Tak Bertinta itu 'kan, Ra? Ya ampun, udah deh, keknya gak selesai-selesai sama nih, orang!"

"Kuas Tak Bertinta? Apaan sih, yang kalian bahas? Ra, kamu bilang kamu cuman butuh bantuan Kakak sedikit. Tapi ... ini? masalah kamu aja belum jelas intinya, gimana mau bantu?"

"Kamu bakal buang waktu istirahat aku jadi percuma, Ra."

Mendadak ruangan mading ini jadi berisik dengan protes Babas, Maxie dan Kak Rena. Gizan yang masih bungkam jelas lebih banyak menarik perhatianku. "Tapi ada satu orang yang bisa bantu kita dapetin jawabannya."

Kepala Gizan terangkat setelah kalimat itu meluncur dari mulutku. Dalam hitungan detik, fokus seluruh orang tertarik pada Gizan sepenuhnya.

"Kamu?" Tanya Kak Rena yang langsung membuat Gizan kembali menunduk.

Hening.

Mendadak ruangan menjadi hening dan senyap. Suara yang terdengar hanya embusan napas dan pergerakan yang terlihat hanyalah bola mata. Dalam diam, kami menunggu Gizan untuk bersuara. Namun, hampir sepuluh menit kami menunggu, lelaki berkacamata tebal itu masih setia mengheningkan cipta meski saat ini tidak sedang upacara.

"Gizan ...." Suaraku membuat semua orang menoleh. Menarik napas, aku mencoba untuk melanjutkan ucapanku dan mengabaikan tatapan Babas yang membuatku merinding.

"Maaf kalau misalnya Rara udah nekan Gizan di sini. Tapi ... Rara yakin, cuman Gizan yang bisa bantu jawab pertanyaan ini."

"Gizan mau 'kan bantuin, Rara?"

Teman Atau Teman? COMPLETEDHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin