14. Perkara Judul

85 51 82
                                    


..
.
.
.
.
.

HAPPY READING 💜💜💜💜💜

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..

"SERIUSAN KITA NONTON FILM BEGINI?!"

"HIH, KAMU BISA DIEM NGGAK SIH! NGGAK USAH PAKE TERIAK-TERIAK!"

"BEB HANA GIMANA SIH, BARUSAN BEBEB TERIAK LOH."

"DIAM!!!"

Perdebatan antara Zayus Hana adalah perdana keributan yang terjadi di rumah Gizan. Rumah sederhana yang bersih dan sangat rapi ini, sesuai sekali dengan karakter Gizan yang pendiam dan tertutup.

Selepas pulang sekolah, Babas sudah meminta ijin kepada Bundaku dan Mami untuk pergi ke rumah Gizan. Aku sempat iri melihatnya yang begitu lihai menggunakan benda canggih berbentuk pipih yang sering orang sebut sebagai ponsel. Sementara aku? Ntah kapan Bunda akan memberikan ijin untuk menggunakan benda seperti itu.

Suasana sangat sepi dan senyap. Kami yang baru masuk langsung dipersilakan untuk duduk di sofa oleh si tuan rumah. Tidak ada pembantu ataupun satpam. Rumah ini benar-benar minimalis tetapi fungsional. Kebun rumah Gizan tertata rapi tepat di samping teras, sehingga kami yang duduk di ruang tamu dapat merasakan kadar oksigen dari tanaman hijau yang terlihat sangat segar. Bermacam ragam bunga juga terhias bahkan tergantung dengan apiknya di pekarangan serta dinding rumah Gizan. Kawasannya yang tidak terlalu ramai dan nyaris senyap, menambah kesan nyaman tersendiri di dalam rumah sederhana ini.

"Wah, nggak usah repot-repot gitu dong Zan, jadi malu," celutuk Zayus saat Gizan telah muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi sirup dingin.

"Cuman bi—bisa, ngasih minum," ujar Gizan mempersilakan. Ia mulai menata minuman tersebut di atas meja.

"Oh, nggak papa kok, Zan. Em ... ngomong-ngomong, cemilannya nggak ada ya? Oh, menyusul?" Gizan menggaruk tengkuknya canggung kala mendengar penuturan Zayus yang berakhlak pas-pasan. Hana buru-buru menyumpal mulut embernya dengan tutup teko sebelum kebocoran Zayus bertambah parah.

"Nggak usah Zan, ini aja udah cukup Kok. Si Zayus nggak usah didengerin, biasanya juga dia minum air keran!" lontar Hana cepat dan Gizan tersenyum.

Lelaki berkacamata tebal itu lantas duduk di sampingku. Kami yang memang sedang kehausan, berniat untuk menghabiskan minuman terlebih dahulu sebelum mulai bekerja.

"Eh, rumah kamu kok sepi banget ya. Ortu pada kemana?" celoteh Revan. Gizan meletakkan gelas yang baru ditenggaknya separuh di atas meja kaca, kemudian menatap Revan sendu.

"Ayah aku kan udah meninggal, dan Ibu aku belum pulang kerja sekarang. Biasanya sore baru pulang," jawabnya.

"Oh, maaf Zan, aku—"

"Nggak papa Revan," potong Gizan cepat dan kami semua pun terdiam. Aku lupa kalau Gizan ini anak yatim, Ayahnya telah meninggal saat Gizan masih duduk di kelas empat SD. ia adalah anak tunggal di keluarganya. Namun, sikapnya yang suka menyendiri dan pendiam, membuat orang di sekitarnya kerap kali melupakan banyak hal penting tentangnya. Termasuk aku. Sepertinya, otak mungilku perlu diservis ulang agar tidak terlalu tumpul.

Masih dengan keadaan menikmati sirup dingin pengobat dahaga, tiba-tiba Zayus kembali berulah.

"Eh, bentar dulu. Film, gimana film. Masak iya kita nonton yang beginian?" protes Zayus.

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now