32. Dusta?

10 8 14
                                    


"A--aku ... aku, aku nggak denger waktu kamu panggil, Ra. Aku nggak ada ni--atan, kabur. Aku ... aku beneran nggak denger karena lagi b—buru-buru, Ra." Gizan berusaha menjelaskan apa yang kupertanyakan. Meski bahasanya belepotan, aku masih berusaha menajamkan mata. Bukan telinga. Karena saat ini yang lebih kufokuskan adalah matanya dari pada suara dari lelaki ini. Mata adalah organ yang sulit untuk berbohong.

"Ra ... aku, aku ... udah bisa pergi?"

Aku menghela napas. Entah mengapa enggan sekali melepas Gizan saat ini. Namun, sadar aku tak punya alasan yang kuat untuk menahannya, baiklah. Sebuah anggukan kepala akhirnya terlepas dariku dan membuatnya enyah dalam sekejap mata.

"Coba aja Gizan nggak bertingkah aneh kayak gini, pasti aku nggak bakal bikin dia ketakutan gitu. Kasian, Gizan," gumamku pelan.

Lelaki berkacamata itu sudah pergi. Langkahnya yang gugup dengan kedua lengan yang kaku menambah kesan penakutnya terlihat. Apa sih, yang ia takutkan?

"Sumpah! Kepala Rara pusing banget mikirin ini!"

"Loh, Rara. Ngapain kamu di sini?"

"K--Kak Lidan? Eh ... hehe nggak papa kok, Kak."

"Yuk, buruan. Acara udah mau dimulai. Oh, iya. Gimana data tadi, udah selesai 'kan?"

Mati aku!

"Em ... udah Kak!" Kak Lidan tersenyum bangga lantas berlalu. Sebelumnya ia masih sempat mengajakku untuk segera beranjak tetapi aku lebih memilih diam dan tersenyum. Mempersilakan satu-satunya Kakak kelas lelaki yang kukenal itu duluan.

"Kayaknya sih, udah Kak. Hehe, maap ya Rara nggak ikut bantu nyusun ulang data siswa. Hehe ...."

°°°°°

Suasana sangat ramai dan meriah. Suara yang dominan mengisi area saat ini adalah gelak tawa dan kebisingan. Tidak heran seluruh panitia kesulitan mendiamkan para murid yang memang sangat bandal untuk tutup mulut.

Acara pertama dimulai dengan kepala sekolah kami yang berpidato untuk kata sambutan. Banyak ucapan dan harapan yang beliau sampaikan demi memajukan generasi-generasi bangsa, khususnya untuk murid-murid di sekolah kami. Paman Kak Lidan ini sangat berwibawa.

Pembawa acara dipegang oleh Kak Famela yang pagi tadi sempat membuat kehebohan bersama Kak Eza. Ia membacakan acara selanjutnya yang akan dimulai oleh penampilan ekskul musik. Mereka mulai memainkan berbagai lagu yang dibuat sekreatif mungkin dengan menggabungkan beberapa jenis genre musik dengan tema perayaan hari ini. Suara mereka bagus, tidak heran banyak yang bertepuk tangan setelah penampilan beberapa anak ekskul musik yang membentuk band. Sepertinya akan lain cerita jika aku yang menyanyi.

Acara berikutnya adalah bidang olahraga. Di mana pihak guru akan berhadapan dengan para murid. Lomba ini hanya sekedar untuk kelucuan dan kesenangan semata. Bidang basket dan futsal diadakan bersamaan dan setelahnya barulah disusul bidang volly. Baiklah, aku bingung sekarang. Mana yang harus kutonton lebih dulu nanti? Babas dengan basketnya, atau Maxie dan Kak Lidan dalam lapangan futsal? Huh!

"Eh, Ra, bantu Kakak bentar sini!" Aku tersentak dari lamunan. Para murid sebagian sudah memenuhi lapangan, aku tidak sadar bahwa sejak tadi malah melamun sendirian di sini.

"Ra, buruan!" Tuh, kan. Melamun lagi!

"Iya, Kak. Rara ke situ!"

Dia adalah Kak Rena, anggota mading dan seniorku di sekolah. Dia seangkatan dengan Kak Lidan juga Kak Famela. Kak Rena termasuk tipe Kakak kelas yang baik menurutku. Beberapa kali kami sering melempar senyum jika bertemu di jalan atau kantin. Hanya saja Kakak ini memang tidak terlalu sering berbicara dan ... terkadang terlihat galak dan menyeramkan. Hanya terlihat sih.

Teman Atau Teman? COMPLETEDWhere stories live. Discover now