06. Rebutan

117 74 127
                                    

Apa kabar?
Baca TAT sambil apa nih?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Selamat membaca💜

Babas berhenti berlari dan berdiri di depanku. Aku tersenyum kepadanya. Max juga ikut beranjak dan berdiri di sampingku.

Namun, aku merasa ada yang salah dari tatapan Babas saat ini. Tatapannya lebih dingin dan tajam dari biasanya. Dan itu mengarah kepada Max yang ... hey! Kenapa mereka beradu tatapan? Babas dengan wajah datar dan Max dengan seringaian konyolnya. Aku merasa canggung sendiri.

Walau aku baru mengenal Max beberapa menit yang lalu, aku sudah bisa merasakan bahwa ia adalah anak yang sedikit gila. Mudah tertawa dan terlalu blak-blakan. Sementara  Babas? Ini dia yang masih kupertanyakan.

Tidak biasanya Babas menatap sampai seserius ini pada seseorang.

"Em ... Bas, ini Max. Max Ananda Putra. Dan ... Max, ini Babas, sahabatku sejak kecil," ucapku mencoba memecah keheningan yang terjadi.

Dua pasang bola mata berbeda warna itu, kini menatapku serempak.

"Kenalan dong, kok malah liatin Rara sih?!" ajakku kesal melihat tingkah mereka yang sangat kaku satu sama lain.

"Max Ananda Putra." Max mengulurkan tangannya ke depan. Menunggu Babas yang sampai saat ini masih menatapnya sangat dalam dan tak bergeming. Aku jadi curiga, Jangan-jangan Max ini pernah meminjam uang pada Babas, dan sampai sekarang belum dibayar. Eh astaghfirullah!

Aku dan Max saling pandang. Bukan hanya Max yang heran, aku selaku sahabat karibnya juga kebingungan. Babas memang tipe orang yang  tidak terlalu suka berbaur apalagi bergaul. Namun, Babas bukanlah sosok menyebalkan yang dengan teganya mengabaikan seseorang saat sedang berbicara begini.

"Babas!" peringatku kesal. Babas melirikku sebentar, kemudian menjabat tangan Max yang sudah lama menggantung di udara. Kasihan Max ...

"Alvaro," ucap Babas singkat. Aku hanya mendesah pasrah melihat tingkah sahabatku ini.

"Babas atau Alvaro sih nama kamu?" tanya Max saat jabatan tangan mereka telah terlepas.

"Namanya Kenan Alvaro Sebastian. Semua manggil dia Al, cuman aku yang ngasih sebutan Babas buat dia," ujarku mendahului Babas. Karena kuyakin, Babas tidak akan mau untuk repot-repot membuka mulut besinya demi orang awam seperti Max.

"Kenapa bisa gitu? Lucu juga sih nama Babas, aku juga mau dong Ra dikasih nama panggilan kayak gitu ...," pinta Max yang membuatku tergelak. Ia menghentak-hentakkan kakinya dan menggoyang-goyangkan pundaknya dengan terus merengek.

Belum sempat aku menjawab, sesuatu menyelinap ke dalam sela-sela jemariku. Ternyata itu tangan Babas yang ingin menggenggam tanganku. Kemudian ia menarikku untuk berpindah tempat.

"Kenapa?" tanyaku saat Babas menghentikan tarikannya di sebuah pohon kayu besar. Jika dilihat-lihat, pohon ini yang paling besar di taman belakang sekolah.

"Tempat yang tadi panas," ujar Babas yang kemudian sibuk dengan dirinya sendiri. Ternyata ucapan Babas benar, tempat kami tadi sudah tertimpa oleh sinar matahari. Aneh, kenapa aku tidak merasa kepanasan ya?

Tidak lama kemudian Max datang menyusul.

"Kalian nih, ninggalin aja. Mana pake pegangan tangan segala lagi!" Maxie memberengut kesal.

"Iya, maaf ya Max," ucapku jadi tidak enak. Melihat Max, aku jadi teringat diriku sendiri yang selalu dianak tirikan. Uhuk,

Max menganggukkan kepalanya lesu. Kemudian ia duduk di sebelah kananku.

Teman Atau Teman? COMPLETEDDonde viven las historias. Descúbrelo ahora