35 - Conversation

3K 380 218
                                    

Hujan turun rintik-rintik. Membasahi tanah tempat para prajurit yang gugur disemayamkan. Seolah langit ikut bersedih dengan kematian mereka.

Grace berdiri menghadap satu buah batu nisan. Beberapa buket bunga terletak di sekeliling nisan, menandakan jika sudah ada orang yang datang berkunjung lebih dulu.

Cukup lama memandang, Grace akhirnya meletakkan setangkai bunga lili putih di atas batu nisan. Nisan bertuliskan nama 'Sasha Blouse'.

"Berbahagialah di sana, Sasha."

Raut wajah Grace datar. Tidak menunjukkan sedikit pun emosi. Sorot dari dua mata zamrudnya pun redup.

Salah satu tangan mengusap wajah kasar ketika berbagai kenangan berputar di kepalanya. Kenangannya dari para prajurit yang telah mati di peperangan di Liberio, terutama Sasha.

Gadis berambut cokelat yang sangat suka makan itu memberi kesan yang cukup dalam pada Grace. Tak jarang mereka makan bersama setiap ada kesempatan dan Sasha akan menceritakan banyak hal konyol yang selalu membuatnya tertawa.

Lalu, Grace teringat sesuatu. Jika gadis yang selalu penuh energi itu sedang tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik. Jika gadis pecinta makan bernama Sasha itu... sedang jatuh cinta dengan seseorang.

Membayangkannya saja sakit.

Membayangkan kehilangan seseorang yang dicintai. Seseorang yang berada pada tingkatan cinta lebih tinggi dari seorang teman.

'Bagaimana keadaan Niccolo?' pikir Grace.

Meski tak terlalu tahu perkembangan romansa antara Sasha dan Niccolo, Grace tahu jika dua orang itu sedang dalam hubungan yang lancar. Sasha bahkan mengubah gaya rambutnya agar terlihat lebih cantik dan feminim.

Niccolo, pasti sangat terpukul.

Grace mengusap wajahnya lagi, berusaha mendapatkan semangat yang sempat redup. Semangat untuk terus berperang. Dia tidak boleh menyerah. Jika dia menyerah, semuanya akan kacau.

Untuk terakhir kali, sebelum pergi dari area pemakaman, Grace menatap batu nisan Sasha.

Jenderal mungil berambut cokelat ini lalu berjalan cepat meninggalkan pemakaman. Dia harus bergegas kembali ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan sesuatu.

"Sudah selesai?"

Langkah kaki Grace terhenti di depan gerbang area pemakaman usai mendengar suara berat khas Levi. Perempuan ini tersenyum manis, "Sudah."

Levi ikut tersenyum. Sangat tipis.

Pintu ke dalam kereta kuda di dekat gerbang dibuka oleh Levi. Manik keabuan dari sang lelaki menatap tajam setelahnya.

Grace hanya terkekeh kecil. Tingkah Levi yang seperti itu tidak pernah membosankan untuk dilihat. Dia kemudian masuk lebih dulu ke dalam kereta kuda. Levi kemudian ikut masuk, duduk di depannya, dan menutup pintu lalu menyuruh sang kusir mulai berjalan.

Hujan tiba-tiba turun deras. Langit pun nampak menghitam. Angin yang bertiup semakin lama semakin terasa dingin. Jendela kereta akhirnya ditutup oleh Levi.

Manik zamrud Grace kini terfokus pada Levi yang sedang menatap keluar jendela. Dia mengamati setiap inci wajah yang bisa dilihat.

Mata hitam Levi terlihat semakin menghitam. Wajar saja karena laki-laki itu hanya tidur dua atau tiga jam dalam sehari. Walau begitu, pipi tirus Levi nampak sedikit lebih berisi. Artinya, keadaan Levi telah membaik selama empat tahun ini. Grace merasa bersyukur karenanya.

"Apa aku terlalu tampan?"

Grace mengerjapkan mata, "Hm?"

Levi membawa pandangan kepada Grace, "Kau terus melihatku tanpa berkedip sekali pun. Kurasa aku memang benar-benar tampan." ucapnya percaya diri namun dengan nada yang datar.

𝐂𝐋𝐀𝐑𝐈𝐓𝐘 ✦ ᴀᴛᴛᴀᴄᴋ ᴏɴ ᴛɪᴛᴀɴ ✔Where stories live. Discover now