0.9 Sembilan

47 10 36
                                    

Usai bersiap Darel keluar dari kamar untuk pergi ke sekolah. Dia teringat perkataan Budhe saat pandangannya tertuju ke sebuah kamar yang berada di sebelah kamarnya.

Dia lihat jam tangan untuk memastikan masih ada cukup waktu sebelum berangkat sekolah. Setelah itu dia berjalan mendekati kamar Alaric. Membuka pintunya perlahan. Lalu menghampiri Alaric yang tengah berdiri menghadap jendela.

"Kemarin Budhe bilang lo nyariin gue. Ada apa, Bang?"

Alaric menoleh saat mendengar suara Darel. Tapi tidak langsung memberikan jawaban, yang dia lakukan hanya menatap Darel semakin dalam hingga membuat tubuh Darel sedikit menegang.

Darel yang tahu benar arti tatapan itu pun mengalihkan pandangan, ke mana pun asal bukan mata Alaric.

"Lo yang beliin gue kamera?"

BOOM!

Sontak saja jantung Darel memompa darah lebih cepat. Asisten-asisten kecil di otaknya pontang-panting mencari jawaban. Jika kalian ingat scene ketika spongebobs berusaha mengingat namanya sendiri setelah disuruh menghafal tata cara menjadi pelayan yang baik oleh squidward, maka sekacau dan segugup itulah pikiran Darel saat ini. Blank. Tidak ada alasan yang pas untuk diucapkan selain kata 'iya'.

"Buat apa?"

"Gue liat kamera lo rusak. Jadi-"

"Jadi lo belagak sok pahlawan dengan ngasih gue kamera? gitu?"

"Gue cuma-"

"Kasihan? Ngapain?! Gue nggak butuh simpati dari lo!"

Perasaan Darel mencelos. Dia tulus memberikan kamera itu, meski tidak 100% karena dia ingin hubungan mereka membaik.

"Dan satu lagi," Alaric mengangkat sedikit lebih tinggi kamera yang sedari tadi di tentengnya. "Lo pikir gue akan terkesan dengan barang hasil palakan lo ini, ha?!"

Serius. Emosi Darel mulai terpancing. Ada gejolak yang minta untuk dikeluarkan.

"Itu bukan barang palakan, Bang!"

"Tapi lo beli dengan duit hasil palakan 'kan?" ucap Alaric disertai senyum miring.

"Gue cuma mau bikin lo bahagia, itu doang. Ternyata susah ya bikin orang kayak lo seneng."

Darel melihat ada siratan tidak suka dari mata Alaric.

Brakk

"Nggak usah sok bikin gue bahagia karena lo awal dari penderitaan gue!" sarkasnya usai membanting kamera dari Darel.

Sedangkan Darel hanya bisa metatap nanar lensa kamera yang terlempar lepas dari badannya. Reaksi Alaric benar-benar diluar dugaan. Mulut Darel tertutup rapat. Habis sudah kata-katanya. Dadanya bergemuruh hebat.

"Oke, fine!"

Darel putuskan pertengkaran sampai di sini. Lantas berjalan keluar dari kamar Alaric. Dia menyerah, belum tuntas dengan rasa bersalahnya semalam, sekarang ditambah Alaric mengajaknya bertengkar hanya karena masalah kamera.

"Selesai. Tidak ada yang perlu diusahakan lagi, Darel. Lo terlalu naif. Berharap pada sesuatu yang emang bukan bagian lo. Harusnya lo sadar diri dari awal," rutuknya dalam hati.

🍂🍂🍂

Bel masuk pelajaran sudah berbunyi sejak tadi. Tapi pemuda bertubuh jangkung itu masih saja berkutat dengan bola basket di tangannya. Sibuk memantulkan bola kemudian melemparkannya ke ring. Pantulan Darel semakin cepat seiring kilasan percakapannya dengan Alaric memenuhi ingatan.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now