31. Tiga puluh Satu

9 3 0
                                    

Entah sudah berapa lama Dira melamun di samping jendela. Sinar fajar pun tanpa sadar sudah merambat. Dan hari ini adalah hari pertama semester kedua akan di mulai setelah libur panjang. Tapi semangatnya untuk kembali ke sekolah seolah lenyap akibat ke-overthingking-annya.

"Aku pastikan Darel bakalan nyesel karena udah rebut kamu."

Dira menghela nafas sembari menyandarkan kepalanya pada palang jendela. Sekarang apa yang bisa dia lakukan ketika bukan hanya Mamanya yang kemungkinan akan menjadi korban.

Hidup itu kayak kotak kejutan, ya? Selalu menyajikan hal-hal tidak terduga. Begitu yang sering terlintas dalam benaknya. Mungkin seru bagi orang-orang yang menyukai tantangan, tapi jelas berbeda dengannya. Karena dia tidak suka hal-hal yang meleset jauh dari perkiraan apalagi tanpa ada persiapan.

Dira mengerjap pelan ketika baru menyadari sebuah motor svartpilen 701 warna hitam terparkir rapi di halaman.

"Sejak kapan?" batinnya sebelum menoleh ke arah jam beker yang ada di atas meja belajar. Ini masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Dan Darel kenapa ada di rumahnya tanpa memberi kabar terlebih dahulu? Tanpa pikir panjang lagi Dira berjalan keluar kamar.

"Udah bangun, Kak?"

Satu pertanyaan itu berhasil mengubah atensi dan arah langkah gadis itu. Dia berjalan menghampiri Mamanya yang berada di meja makan—mengeluarkan beberapa makanan dari paper bag.

"Udah dari subuh."

"Kok nggak keluar?"

Dira hanya tersenyum sebagai jawaban. "Darel ke sini, Ma?"

Mamanya pun mengangguk. "Nganter makanan, abis itu mau berangkat ke sekolah katanya."

"Bukannya masih terlalu pagi?"

"Nggak tahu. Tanyain gih, keburu pulang."

Dira menggeleng sembari menuangkan air putih ke gelasnya. "Darel nggak bilang mau ke sini itu artinya nggak mau ketemu sama Dira 'kan, Ma. Jadi, nggak usah aja."

Siska tersenyum. "Tapi tadi nanyain kakak udah baikan apa belum."

Gadis itu meneguk minumannya.

"Kak."

"Hm?"

"Kakak bahagia nggak?"

Sontak saja Dira menatap ibunya. "Dira bahagia kok. Kenapa nanya gitu?"

"Kak, Mama itu seorang ibu. Pasti tahu apa yang dirasakan anaknya. Mama sebenarnya juga tahu setiap kamu terluka itu bukan hasil dari jatuh. Tapi Mama nggak bisa maksa kamu buat cerita. Dan hari ini Darel udah jelasin semuanya."

Siska mengusap pipi anaknya. "Maafin Mama ya, Kak."

Dira menggeleng sembari menggengam tangan wanita itu. "Mama nggak salah, itu emang kemauan Dira."

"Mama akan berhenti kerja biar kamu nggak khawatir lagi."

"Mama yakin?"

Siska mengangguk. "Mama akan buka usaha cathering aja di rumah sambil jagain Boy."

"Tapi Ma,"

"Kenapa? Kakak malu?"

"Ih, nggak gitu.. Tapi Mama yakin? Biaya sekolah Dira sama pengobatan boy 'kan.." Dira ragu ingin melanjutkan perkataannya.

"Kak, kakak tahu nggak kalau 9 dari 10 pintu rezeki akan terbuka ketika kita berdagang. Jadi presentase datangnya rezeki lebih banyak ketika kita mempunyai usaha sendiri daripada jadi karyawan. Dan satu lagi, jangan pernah khawatir karena Allah selalu tahu apa yang kita butuhkan."

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now