Epilog

12 2 0
                                    

Satu tahun kemudian..

Rangkaian bunga yang berjajar rapi sepanjang koridor, menjadi pengiring siapapun yang melewatinya. Menemani perjalanan menuju aula SMA Senandika yang dipenuhi riuh kebahagiaan.

Seluruh siswa-siswi tampak rapi mengenakan setelan jas juga gaun wisuda yang melekat di tubuhnya. Selaras dengan para wali murid yang tampak menatap bangga. Beberapa dari mereka ada yang menahan haru karena prestasi yang telah dicapai sang buah hati. Acara pun berlangsung dengan lancar dan khidmat.

Selepas acara semua siswa memilih bergerombol dengan teman-temannya dibandingkan pulang ke rumah masing-masing. Sibuk mengambil foto, saling peluk, juga saling mengurai air mata bahagia sekaligus sedih karena tak akan ada lagi momen susah senang yang akan mereka lalui bersama. Ya, masa SMA telah berakhir. Masa yang katanya penuh dengan kenangan-kenangan yang akan sulit untuk dilupakan.

Dira membalikkan tubuhnya ketika merasakan sebuah tepukan di pundak. Teman sekelas yang tadi mengobrol dengannya pun berpamitan untuk pergi.

"Ada yang mau ketemu," ucap Damar.

"Siapa?"

Kedikan dagu pun menjadi jawaban sebelum Damar berlalu meninggalkan Dira yang tersenyum simpul--menatap seorang pemuda yang tampak menawan mengenakan kemeja batik, celana bahan, juga tatanan rambut rapi berkat bantuan pomade itu tengah berjalan ke arahnya. Dira yakin, siapapun yang menatapnya pasti akan terpana.

"Happy graduation day, cantik," ucap pemuda itu sembari memberikan buket bunga yang dia bawa kemudian memeluknya sebentar. Satu tahun berlalu membuat hubungan mereka semakin erat.

"Makasih, Kak Alaric," ucapnya sembari balas memeluk.

Pelukan terurai berganti tatapan lembut
Alaric yang masih sama menenangkannya. Senyuman yang terukir manis di bibir pemuda itu pun menandakan bahwa si empunya sedang merasa bahagia. "Kamu cantik pakai dress ini."

"Berarti Kakak pinter milihnya buat aku."

Cubitan berhasil mendarat di pipi Dira. Gadis itu selalu menggemaskan di mata Alaric. "Mama dateng?"

"Dateng, kok."

"Di mana?"

"Di sana." Jari Dira mengarah pada sekumpulan Ibu-Ibu yang tengah  mengobrol.

"Aku ke sana dulu, ya?"

"Iya."

Pandangan Dira mengikuti arah langkah Alaric yang menghampiri Mamanya. Dira tersenyum mengamati interaksi mereka berdua.

"Siapa ini, jeng?" tanya salah satu dari sekumpulan itu.

"Kenalin, Bu, ini Alaric."

"Wah.. Ganteng banget."

"Pasti calon mantunya nih," kata Ibu berambut pendek sembari memegang lengan Alaric.

Sejujurnya Dira ingin sekali tertawa melihat wajah Alaric yang langsung tegang. Dia tahu pemuda itu merasa tidak nyaman, tapi juga berusaha untuk tidak menghindar. Mungkin takut menyinggung.

Tidak mau terpatri lama, Dira edarkan pandangannya. Senyumnya pun perlahan memudar saat pandangannya terhenti pada Attala, Rena, Aleta dan Damar yang tengah berfoto di photo booth yang disediakan panitia. Ada perasaan senang sekaligus mengenang. Dia tundukan kepalanya saat matanya mulai berkaca-kaca.

"De, apa kabar?" gumamnya lirih sekali. Meski sudah satu tahun berlalu dan ada seseorang yang selalu menemani langkahnya, semua tentang Darel masih tidak bisa dia lupakan. Dira menggelengkan kepalanya. "Cukup, Dira."

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now