34. Tiga puluh Empat

14 3 0
                                    

Bismillah.. Siapkan posisi duduk yang nyaman. Jangan lupa bismillah biar bisa menyelesaikan ceritanya sampai akhir🙂

🍂🍂🍂

Langkah lemah menyapu ubin demi ubin lantai rumahnya. Meski tadi sudah sempat berhenti beberapa kali dan hampir ingin kembali pulang ke kosan. Berani tidak berani dia harus bertanggung jawab. Langkahnya terhenti sejenak melihat sang ayah tengah berkutat dengan laptopnya di ruang tengah dengan kondisi yang sedikit acak-acakan.

Maju atau mundur? begitu ragu Darel. Banyak kata sesal yang terlintas.  Bagaimana bisa dia memberikan banyak masalah kepada ayahnya?

"Darel?"

Satu panggilan itu membuatnya terhenyak sadar kalau sudah terlalu lama berkutat dengan pikirannya.

"Sini! Ngapain berdiri di situ?"

Dengan senyum samar dia bawa langkahnya mendekat. Kemudian mendudukkan dirinya pada kursi yang berseberangan dengan ayah. "Banyak kerjaan, Yah?"

Ayahnya menggeleng. "Cuma ada sedikit kendala."

"Maaf, Yah."

Gerakan tangan Zein terjeda seprsekian detik ketika kata itu meluncur dari bibir putranya. Dia cukup tahu kalau Darel pasti sedang tidak baik-baik saja sebab kasus itu.

"Wajah kamu kenapa?" tanyanya ketika menyadari ada beberapa lebam di wajah Darel.

"Ng-nggak pa-pa."

"Berantem lagi?"

Diam. Darel memilih untuk tidak menjawab hingga ayahnya kembali berkutat dengan pekerjaannya. Bukan bermaksud tidak sopan, hanya saja keberaniannya belum cukup jika harus menjawab pertanyaan beruntun setelahnya.

"Kenapa, Yah?" tanya Darel ketika melihat ekspresi risau ayahnya usai melirik jam tangan.

"Nggak pa-pa. Perasaan ayah dari tadi nggak enak. Ayah bersyukur kamu ada di sini dan baik-baik aja. Tapi Abang belum pulang atau ngabarin ayah dari pagi."

Ya Tuhaan. Darel menggigit bibir bawahnya. Susah payah dia berusaha diam agar tidak ada pembahasan ke arah sana tapi kenapa semesta seolah berkompromi dengan baik sore ini? Darel hela nafas kemudian menunduk—pasrah. Cepat atau lambat dia tetap harus mengakuinya.

"Yah," Ada jeda sebentar sebelum Darel berkata lagi. "Abang koma."

Bak tersambar petir, mata Zein otomatis membola. "Kok bisa?"

Darel bergeming dalam tunduknya.

"Jawab ayah, De. Alaric kecelakaan?"

Darel menggeleng. "Berantem sama Darel."

Lemas. Tidak ada lagi kata yang bisa keluar dari mulut Zein saat ini. Punggungnya jatuh ke sandaran kursi. Nafasnya pun mulai naik turun dengan dua mata terpejam.

"Apa lagi ini, Darel?" Rasanya tidak ada lagi kata yang bisa dia ucapkan.

"Darel nggak sengaja mukulin abang, Yah."

I'm (not) Bringer Of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang