15. Lima Belas

25 7 20
                                    

Angin dingin mendesau menerpa badan mungil yang tengah duduk di halte depan Senandika. Hujan beberapa waktu lalu sudah pergi meninggalkan genangan-genangan air yang membuat jalanan tampak basah. Tapi herannya seorang pemuda masih saja bergeming, punggung kokohnya bersandar nyaman pada tiang halte yang bersebelahan dengan gadis mungil itu tanpa ada sedikit pun niat untuk meninggalkannya. Siapa lagi kalau bukan Darel yang masih gencar mendekati Dira.

Dira mendesah kesal. "Kenapa masih di sini sih?"

"Mau nganterin lo pulang," jawab Darel enteng.

"Aku nggak mau."

"Jam segini udah nggak ada bus lewat, Dira. Yakin nggak mau? Kayaknya hujan bakalan turun lagi."

Dira hanya diam sembari menatap langit yang tampak mendung. Sepertinya ucapan Darel benar.

"Ya udah gue tinggal, ya?"

Dira bingung. Jika dia pulang bersama Darel maka pemuda itu akan mengetahui alamat rumahnya. Tapi kalau dia tidak ikut, dia tidak tahu akan pulang naik apa.

Jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul 16.30, itu artinya angkot maupun bus yang biasa berhenti di depan sekolahnya tidak akan melintas. Andaikan saja Dira tahu hari ini akan hujan dan akan ada makhluk ini di sini, dia akan dengan senang hati menerima tawaran Rena untuk pulang bersama.

"Dengan lo bareng atau nggak, gue akan tetap tau alamat rumah lo, Ra."

Ucapan Darel membuat Dira menatapnya. Tapi sedetik kemudian gadis itu tampak menggelengkan kepala. Dia lupa siapa itu Darel. Manusia aneh yang punya ribuan mungkin dari hal yang terlihat tidak mungkin.

"Oke, aku ikut."

Kata itu berhasil membuat senyum tipis terbit dari mulut Darel.

"Na-"

"Tapi harus jaga jarak, nggak boleh kenceng-kenceng dan jangan banyak omong!" potong Dira cepet.

"Banyak banget aturannya, Neng," ucap Darel sembari mengulurkan jaketnya yang hanya ditatap bingung oleh Dira. "Pakai! Motor gue tinggi. Gue nggak mau kaki lo dilihat banyak orang," jelasnya.

Dira agak tersentak dengan ucapan Darel lantas menerima uluran itu dan melilitkannya ke pinggang. Ternyata Darel juga bisa sepeduli itu. Dira kira Darel adalah tipe laki-laki yang suka sama wanita-wanita yang.. seksi.

Darel menaiki motornya lebih dulu lantas disusul oleh Dira.

"Jangan mundur-mundur!" tegas Dira saat Darel membenarkan posisi duduknya.

"Belom juga mundur, Ra."

"Awas aja sampe mundur-mundur!"

"Dingin loh, Ra. Yakin nggak boleh munduran?" ujar Darel disertai senyum genit. Matanya menatap Dira melalui kaca spion.

Dira melotot. "Kamu kira Akang gendang pakek mundur-mundur!"

"Itu muter, Ra!" tawa Darel menggelegar.

"Jadi jalan nggak, sih? Turun nih!"

"Iya-iya, pegangan."

Tangan Dira mencari sesuatu yang bisa dia jadikan pegangan pada ujung jok belakang motor Darel.

"Sini loh, Ra," Darel menepuk pinggangnya.

"Nggak usah banyak omong!"

Dira kesal setengah mati lalu meletakkan tasnya diantara dia dan Darel dengan geram.

🍂🍂🍂

motor Darel berhenti tepat di depan gerbang rumah minimalis bernuansa putih. Dira turun dari motor seraya mengucapkan terima kasih kepada Darel.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now