37. Tiga puluh Tujuh

7 3 0
                                    

Tidak perlu dipertanyakan lagi apa yang dia lakukan selama masa Skorsing. Yang jelas dia akan menyusuri jalanan kota pada pagi hari, berhenti di kafe untuk bekerja hingga malam, pulang sebentar untuk bersiap pergi ke tempat kerja berikutnya. Seperti malam ini, ditemani motor vespa kesayangan Ayahnya. Ingatannya kembali menyusuri apa yang terjadi dua hari yang lalu.

Dengan segenap emosi yang sudah dia tahan sejak kabar itu dia ketahui, disentaknya tubuh Deon kasar. "Permainan busuk apa yang lagi lo mainin?"

"Maksud lo apa?"

"Nggak usah pura-pura bego deh! Lo tahu 'kan bokap lo kerjasama sama Pandu buat ngrebut rumah gue?!"

Damar terlalu enggan untuk menyebut Pandu sebagai Ayah tirinya. Senyum miring yang terbit dari mulut Deon seolah jadi pembenaran atas dugaannya.

"Sebenarnya gue nggak tahu apapun soal urusan bokap gue ya. Tapi ya-"

"Tunggu." Damar mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Deon. "Lo nggak tahu urusan bokap lo? Jadi lo bohong soal lo bakalan minta bokap lo buat nganggep lunas hutang-hutang nyokap gue?"

"Gue nggak bohong, Mar. Gue beneran bakalan bilang itu kalau kerja lo bagus. Tapi lo lihat sendiri 'kan, yang lo lakuin nggak ada efeknya di Darel."

Tidak ada efek katanya? Damar mencengkram kerah Deon. "Gue ingetin buat nggak main-main sama gue."

"Gue juga mau ngingetin kalau aset keluarga lo ada ditangan bokap gue. Sekali aja lo bikin masalah sama anaknya, bisa lo tebak apa yang bakalan terjadi?"

"Bangsat lo, Yon." Damar menyentak cengkramannya hingga tubuh Deon terdorong ke belakang. "Ini kan tujuan lo sebenernya? Lo mau ngancurin pertemanan gue sama Darel?"

"Eitz, jaga omongan lo ya, Mar. Lo sendiri yang hancurin pertemanan kalian. Bukan gue." Ada jeda sebelum Deon melanjutkan ucapannya. "Gue kasih satu kesempatan lagi buat hancurin Darel. Kalau lo berhasil, gue jamin nyokap lo bakalan bebas."

"Dia udah hancur! Lo mau bikin dia sehancur apa lagi?!"

"Sampai dia nggak ada harapan lagi buat bangkit."

"Iblis lo, Yon!"

Damar memejamkan mata agar ingatannya terhenti di sana. Tidak berlanjut pada pertengkarannya dengan Deon di lapangan belakang, tatapan kecewa Darel, lalu berujung pada kebohongan yang harus dia ucapkan kepada adiknya. Tapi bukannya berhenti, ingatannya justru memutar obrolannya dengan sang Mama.

"Mereka kasih waktu kita sampai minggu depan, buat ngosongin rumah atau melunasi semuanya."

"Uang Mama sudah terkumpul berapa?"

"20 juta. Rencanyanya Mama akan jual mobil. Tapi Mama nggak yakin harganya bisa menutup kurangannya."

Damar menundukkan pandangannya. "Damar akan jual motor, Ma," putusnya dengan berat hati.

"Nggak perlu. Itu motor kesayangan kamu."

"Aku lebih sayang Mama sama adik-adik."

"Terus kamu ke sekolah naik apa?"

"Masih ada motor peninggalan Papa 'kan."

Tanpa terasa dia sudah sampai di depan bangunan yang dipenuhi gemerlap lampu disko sekaligus dentuman musik dj yang tak terdengar dari tempatnya sekarang tapi memekakkan ketika dia berada di dalam.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now