36. Tiga puluh Enam

12 3 0
                                    

Darel meremat telapak tangannya gugup. Dia enggan hanya untuk sekedar turun dari mobil. Bukan karena dia takut menghadapi komentar buruk siswa-siswi. Dia hanya tidak siap mempermalukan ayahnya. Sentuhan di pundak membuat atensinya berubah.

"Turun," titah ayahnya lembut. Seakan beliau paham betul apa yang dirasakan anaknya.

"Yah," Darel kembali menunduk.

"Nggak pa-pa, hadapi aja. Ayah tahu kamu pasti tidak terima karena kamu merasa tidak bersalah. Tapi, Nak, apa yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah."

Darel hanya bisa bergeming--mendengarkan penuturan Ayahnya yang terdengar tenang dan menenangkan. Tapi di sisi lain, membuat rasa sesalnya semakin membesar.

"Apapun resikonya diterima. Lain kali hati-hati. Dan ingat, jangan clubing lagi. Sudah cukup coba-cobanya."

Darel mengangguk. Lalu menatap Ayahnya yang lebih dulu keluar dari mobil dan menunggunya di depan. Dia hembuskan nafas sebelum akhirnya keluar. Berjalan mendekati Ayahnya.

"Sepulang dari sini, kita cari sekolah yang cocok buat kamu."

Darel hanya diam. Tidak ada jawaban yang bisa dia lontarkan ketika hatinya masih ingin tetap berada di sini, bukan tempat lain.

🍂🍂🍂

Ini memang bukan pertama kalinya Darel berhadapan dengan Pak Anton. Tapi entah kenapa kali ini vibes-nya terasa berbeda. Mungkin karena mereka berada di ruangan yang berbeda, dengan tiga tambahan orang yang berbeda pula--Ayah, kepala sekolah, dan kesiswaan.

Darel duduk dengan tenang meski dalam hatinya berdebar. Bagaimana tidak? Ketika lembar demi lembar keburukannya dibuka di depan Ayahnya. Dan yang terakhir adalah fotonya dengan gadis tidak dikenal itu. Bapak kepala sekolah menyampaikan banyak hal termasuk konsekuensi yang harus Darel tanggung, berbanding terbalik dengan Ayah yang hanya menjawab apa adanya.

"Apa DO sudah menjadi keputusan final, Pak?"

Kepala sekolah mengangguk. "Kasus Darel kali ini sudah menyeleweng jauh, Pak. Saya hanya tidak ingin siswa lain menganggap perbuatan itu adalah hal yang wajar dan mencontohnya."

"Darel sebenarnya anak yang berprestasi," tambah Bu Mita selaku kesiswaan. "Tapi-"

Ucapan Bu Mita terpotong oleh ketukan pintu. Tak berselang lama munculah sosok Rehana. "Permisi, Pak. Boleh saya masuk?"

Darel melotot. "Ini Mbak-mbak ngapain, sih?"

"Ada apa, Rehana?" tanya Pak Anton.

"Saya membawa bukti bahwa Darel tidak bersalah."

Semua orang saling bertatapan. Kontras dengan Darel yang komat-kamit memarahi Rehana. Bagaimana tidak marah, ketika Rehana malah mempertaruhkan identitasnya yang sudah dia simpan rapat-rapat?

🍂🍂🍂

Pintu ruang rapat terbuka membuat Brandon, Galang, Maga, dan Bian yang entah sejak kapan berdiri di depan ruangan serempak menoleh. Wajah mereka tampak bertanya-tanya. Dan ketika Rehana menyatukan jari telunjuk dengan jempolnya membentuk lingkaran, barulah mereka bisa bernafas lega lalu mendekat dan mengacak rambut Darel bergantian.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now