33. Tiga puluh Tiga

16 3 0
                                    

Darel mematikan mesin motor lalu melepas dan meletakkan helmnya di atas tangki bensin. Kemudian menyeret langkahnya menuju kamar kost. Tubuhnya butuh istirahat barang beberapa menit karena semua kejadian di sekolah hari ini membuatnya stres bukan main.

Langkah kaki Darel melambat seiring dengan matanya yang menangkap sosok yang sudah lama tidak dia temui tengah berdiri di depan kamarnya. Nafas Darel tercekat beberapa detik sebelum orang itu menyadari kedatangannya. Tidak ada pilihan lain selain pasrah dan menghampiri orang itu.

"Udah lama?"

Pertanyaan Darel menguap begitu saja di udara tanpa mendapatkan jawaban. Dia sendiri juga tidak mau repot-repot bertanya ulang. Dengan gerakan malas Darel membuka pintu lantas mempersilakan tamunya untuk masuk.

Dia lepas sepatu dan meletakkanya di rak samping pintu kemudian menggantung tasnya sebelum kembali berbasa-basi dengan orang yang sedari tadi berdiri di dalam kamarnya.

"Tumben ke sini. Ada apa, Bang?"

Tanpa banyak kata, Alaric menunjukkan beberapa foto yang baru saja dia ambil dari dalam sakunya.

Darel menatap foto itu berang. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih menahan emosi yang kembali muncul. Bagaimana bisa foto itu sudah sampai di tangan Alaric? Hal itu membuatnya semakin yakin kalau semua ini sudah direncanakan dengan baik.

"Kalau lo ke sini cuma mau bahas ini, mending lo pulang, Bang. Gue lagi nggak mood."

"Belum cukup masalah yang lo bikin selama ini?"

Darel mengernyitkan dahinya.

"Harus banget lo bikin masalah segede ini lagi?"

"Lo nggak cukup bodoh buat tahu kalo itu jebakan 'kan?" tukas Darel.

"Jebakan atau bukan yang jelas lo yang ada di dalam foto ini."

Darel tersenyum miring sembari mengalihkan pandangan.

"...Yang jelas lo yang ada di foto ini."

Yang jelas semua fakta tidak penting kecuali kesalahan gue.

Semua kata itu ditelannya kembali, dia terlalu capek untuk sekedar mendebat ucapan Alaric.

"Mending lo pulang dulu, deh."

"Berhenti bersikap bodoh. Kalau lo nggak peduli sama reputasi lo, setidaknya peduliin reputasi Ayah." Suara Alaric mulai menusuk telinganya.

"Lo tahu sendiri seberapa sayangnya Ayah sama lo dibandingin sama gue. Tolong lah jangan menyalah gunakan kasih sayang dia buat lo," sambung Alaric.

"Terus mau lo apa?!"

"Punya otak itu buat mikir, De. Lo tahu siapa cewek yang ada di foto bodoh lo ini?" Genggaman Alaric mengerat sembari menunjukan foto itu lalu melemparnya tepat mengenai dada Darel. "Dia anak dari salah satu perusahaan yang bakalan kerjasama dengan perusahaan Ayah. Dan gara-gara ulah lo, kerjasama itu gagal. Dia batalin semuanya. Lo tuh bener-bener nggak guna ya!"

Tangan Darel mengepal kuat. "Sejak kapan lo peduli soal bisnis Ayah? Sejak kapan lo mikirin perasaan Ayah? Sejak kapan juga lo bisa meduliin orang lain, SELAIN DIRI LO SENDIRI, HAH?!"

"Setidaknya gue nggak pernah ngerugiin orang lain."

Secepat kilat kepalan tangan Darel melayang ke pipi Alaric.

"LO NGGAK TAU APA-APA SOAL GUE, BANGSAT!"

"Hah." Alaric mengelap cairan yang keluar dari sudut bibirnya. "Justru karena gue tahu lo sebodoh apa, makanya gue ke sini biar lain kali lo itu bisa mikir. Apa jangan-jangan lo belum puas udah bunuh bunda dan buat gue menderita, sekarang Ayah?"

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now