21. Dua puluh satu

17 6 14
                                    

Deguban jantung yang menggebu mengusik konsentrasinya ketika mengikat tali sepatu. Dua kali diulangi tetap saja simpul itu tak kunjung benar, seolah hal tersebut menjelma menjadi rumus matematika yang sulit terpecahkan.

"Bisa nggak sih nggak usah lihatin aku terus?!" sebalnya pada pemuda yang juga duduk di tangga musola sekolah. Dia menyerah.

Pemuda itu hanya menggeleng dengan senyum yang terpatri di bibirnya. "Udah cantik, sholehah. Idaman banget sih, Mbak."

Respon Dira hanya memutar bola matanya lalu berdiri meninggalkan Darel tanpa menyelesaikan ikatan tali sepatunya. Dia terus berjalan melewati lorong menuju ke parkiran mengabaikan panggilan dari Darel. Tidak perlu di respon karena pemuda itu tahu Dira akan ke mana.

Langkah Dira terhenti seketika saat Darel berjongkok di depannya. Refleks dia pun mundur satu langkah. "Heh, mau ngintip ya?"

"Sembarangan banget sih mulutnya, Ra." Tangan Darel terulur membenarkan tali sepatu gadis itu. "Nanti jatuh kalau nggak di tali. Iya kalau cuma kesrimpet, kalau sampai masuk jeruji motor gue gimana?"

Dira hanya bergeming menatap perlakuan pemuda itu. Sejauh dia mengenal Darel, sosoknya yang penyayang dan tulus tercetak jelas pada caranya memperlakukan Dira. Berbanding terbalik dengan rumor yang selama ini dia dengar.

Jemari pemuda itu terulur meraih jemari Dira untuk di genggam kemudian menariknya pelan agar melanjutkan langkah. Tidak henti Dira menatap punggung pemuda itu. Selepas Darel menyatakan perasaannya dulu hubungan mereka mengalami banyak perubahan. Mulai Darel yang sering mengantar jemputnya. Darel yang tidak segan menemaninya ke perpustakaan atau kantin meski diiringi bisik-bisik orang lain. Juga Darel yang tidak segan membawakan makanan ke kelasnya ketika dia belum makan siang karena banyak tugas. Dira tersenyum tipis, kemudian tanpa sengaja matanya mendapati beberapa siswa-siswi yang belum pulang menatap mereka.

"De, jalan sendiri-sendiri aja ya, aku malu."

"Nggak."

Bukannya dilepas genggaman itu justru mengerat. Dira menghela nafas sembari menundukan kepala, apalagi yang bisa dia lakukan selain pasrah.

"Abis ini mau kemana?"

Dira menoleh menatap wajah Darel dari samping dan saat itu lah dia baru menyadari bahwa langkah mereka sudah sejajar. "Pulang aja, mau istirahat dulu. Nanti malem mau tugas kelompok."

"Ntar gue anter."

"Eh, nggak perlu."

"Eh, nggak peduli."

"Dih."

Seperti itulah Darel ketika mode abang gojeknya menyala. Padahal Dira bisa berangkat sendiri, toh, jarak cafe unicorn tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Tautan tangan mereka terlepas sesampaimya di parkiran.

"Biar aku pakai sendiri," ujar Dira ketika Darel hendak memasangkan helm ke kepalanya. Tapi pemuda itu justru menaikan helm yang dia pegang tinggi-tinggi agar tidak terjangkau oleh sang gadis.

"Selagi ada gue, lo nggak boleh kesusahan."

"Kenapa jadi alay sih?"

Pada akhirnya Dira yang akan selalu pasrah dengan semua perlakuan Darel yang seolah memosisikannya menjadi ratu.

"Cewek lain bilang itu romantis. Kenapa lo beda?"

Dira memicingkan mata—menatap darel sangsi— kemudian menusuk dagu pemuda yang ada di depannya itu. "Jadi udah berapa cewek yang kamu pasangin helm nya?"

Bukan Darel namanya jika menanggapi ucapan Dira dengan panik. Dengan tenang dia mengancingkan pengait helm kemudian menurunkan tangan Dira dari dagunya. "Baru dua. Lo sama Tata."

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now