40. Empat puluh

20 3 0
                                    

Waktu berlalu begitu cepat, tanpa mau tahu seseorang siap atau tidak untuk melewati fase selanjutnya. Tanpa mau mengerti masih adakah luka basah yang tersembunyi dalam dirinya. Waktu selalu berbuat seenaknya.

Damar keluar dari kamarnya usai membersihkan diri. Berjalan menuju kamar kedua adiknya untuk mengecek apakah mereka sudah tidur atau belum. Dia buka pintu kamar perlahan lantas membawa langkahnya masuk.

Di atas tempat tidur itu, dua malaikat kecilnya tertidur pulas. Wajah polos yang dia sayangi terlihat begitu damai tanpa ada kekhawatiran seperti waktu siang. Damar menghela nafasnya. Besok adalah keputusan final. Lunas atau pergi?

"Kakak janji semua akan baik-baik saja," ucapnya, meski dia belum tahu apakah malam ini akan berhasil menutup sisanya atau tidak.

Dia usap puncak kepala mereka satu persatu sebelum meninggalkan kamar itu. Menyambar helm dan jaket  yang sebelumnya sudah dia letakkan di sofa. Lalu merogoh saku jaketnya untuk memastikan barang penting itu tidak ketinggalan. Pekerjaannya kali ini menuntutnya untuk selalu berhati-hati kalau tidak mau hal yang tidak dia inginkan terjadi.

Damar langsung memutar gasnya menuju satu tempat, icarus club. Dia harus menemui Mareta secepatnya. Sesampainya di sana Damar berlari masuk—mencari keberadaan gadis itu.

"Lo buang waktu gue 10 menit," sambut Mareta ketika Damar duduk di sampingnya.

"Telat dikit, doang."

Mareta menghela nafas tidak peduli. Jika saja Damar tidak menghasilkan sesuatu yang besar dia tidak akan pernah sudi memberinya job lagi.

"Klien lo kali ini ada dua. Lo sanggup?"

"Honornya gimana?"

"Emang gue pernah ngasih lo honor murah? Kali ini yang tertarik sama lo orang kelas kakap."

Damar mengangguk mantap. Berapapun kliennya dia tidak peduli asalkan honornya cukup besar.

"Lo nggak lupa bawa pengaman 'kan?"

Damar mengangguk sembari menunjukkan sebuah kotak kecil dari sakunya.

"Bagus, takutnya mereka bakal minta lebih dari sistem kerja 'main aman' lo itu."

Damar menyeringai. Semenjak keadaan mengharuskannya menjadi 'pemain' dia selalu membawa barang itu ke mana-mana—hanya untuk berjaga-jaga.

"Untuk klien pertama ada di kamar nomor 21. Usahakan selesai tepat jam 12. Jangan molor. Soalnya klien kedua ini jauh lebih kakap."

Meski terbilang baru, Damar cukup bisa diandalkan dalam hal seperti ini.

"Klien kedua ada di kamar 45. Gue saranin lo mainin dia aja, jangan terlalu jauh karena.." Mareta mencondongkan tubuhnya lalu berbisik, "Dia cowok."

Damar tersentak. "Lo gila?! Gue normal, anjing!"

"Tapi dia berani bayar lebih."

"Kenapa harus gue?!"

"Lo butuh banyak duit, Mar. Dan dia cocok buat ngisi setengah dari kurangan lo."

"Berani berapa memang?"

"50 juta."

Damar terperangah. Itu bukan nominal yang sedikit.

"Itu yang dia bayar ke gue. Belum uang tip yang bakal lo dapet kalau dia puas sama pelayanan lo. Sekarang, bisa lo bayangin 'kan, berapa digit yang bakal masuk ke rekening lo?"

Damar mengerang frustasi. Dia tahu honornya besar, tapi ini pertama kalinya dia harus melayani laki-laki gay. Dia bimbang, sampai akhirnya Mareta mengulurkan butiran obat tidur.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now