29. Dua puluh sembilan

32 3 2
                                    

31 Desember. Tepat di mana tahun itu akan ditutup berganti dengan tahun yang baru. Mungkin begitu juga kisahnya dengan gadis yang tak sengaja dia temui di kantin dengan sepaket makan siang yang sengaja dia tumpahkan, akan dia tutup paksa meski belum rela. Perlahan matanya mengamati satu persatu gedung pencakar langit yang tampak dari rooftop markas G. Pemuda itu duduk di tepi dengan kaki menjuntai ke bawah.

Helaan nafas kembali keluar dari hidungnya. Rasa sesak yang menghimpit dadanya tak kunjung hilang. Dia tidak bohong, rasanya masih saja berat. Terlebih ketika mengingat Dira belum juga menjelaskan apapun hingga saat ini. Padahal dia sendiri yang bilang waktu itu.

Darel menumpukan badannya pada kedua tangan, kepala mendongak-menatap langit yang terhiasi semburat jingga kala senja.

"Mau sampai kapan galau terus?" Bian ikut duduk di sampingnya sedikit ke belakang dengan kaki bersila. Dia bergidik ngeri menatap Darel yang dengan santai duduk di tepi rooftop. "Jangan minggir-minggir ntar jatuh berabe."

"Senja sama Dira itu sama nggak, Bi?"

Bian menaikkan sebelah Alisnya. "Beda."

"Sama. Mereka sama-sama indah, tapi sekejap datangnya."

Bian menggelengkan kepala. Sebenarnya dia ingin bilang bahwa senja hanya mampu dinikmati oleh penikmatnya. Sedangkan Bian tidak termasuk kategori itu. Jadi, percuma Darel menjelaskan.

Kedua pemuda yang tengah membicarakan senja itu menoleh ketika suara derap langkah kaki dan pintu penghubung rooftop di buka. Pelakunya adalah Galang, Brandon, serta Maga.

"Ntar malem nonton konser kuy." Galang duduk di sofa disusul Brandon. Sedangkan Maga menghampiri Bian dan Darel, ikut menikmati suasana sore kota jakarta dari atas. Jalanan kota yang tampak macet dan bunyi klakson bersahutan menjadi pemandangan di bawah sana.

"Gue nggak bisa. Kalian aja yang pergi," ujar Darel.

"Kenapa?" Brandon.

"Gue nggak suka konser, Bang. Terlalu rame, apalagi kembang api-kembang api khas tahun baru itu, gue nggak suka."

Bian menoleh, menatap Darel dari samping. Dia tahu kata 'tidak suka'-nya hanyalah alibi belaka.

"Kayaknya tahun ini nggak bakal ada kembang api gegara insiden tahun lalu." Maga.

"Nah! Ayolah, De. Nggak bosen lo galau mulu?" Galang.

Darel mengerjap beberapa kali, dia ingin sekali bilang tidak tapi tidak punya alasan untuk menolak. "Gue belum beli tiket."

"Tenang, udah gue borongin," ucap Brandon sembari mengacungkan enam tiket.

"Reya mana? Kalau dia nggak ikut gue juga nggak."

Jawaban Darel membuat mereka berdecak sebal. Kenapa susah sekali mengajak bocah itu ke konser padahal dia menyukai musik. "Langsung ke lokasi dia."

"Ribet banget sih lo."

Darel menggaruk kepalanya frustasi. "Beneran nggak ada kembang api 'kan?"

Hening. Yang mereka lakukan hanya menatap Darel datar. Sedangkan Bian sudah ketawa ketiwi melihat hal itu.

"Iya deh, ikut gue ikut."

Darel menyerah, lagian tidak ada salahnya ikut merayakan tahun baru. Senyum tipis terulas di bibirnya ketika mereka semua tampak lega. Dalam hati dia sangat bersyukur karena memiliki mereka. Makasih udah berusaha narik gue.

🍂🍂🍂

Tempat konser diadakan sudah ramai ketika mereka sampai di lokasi. Penuh sesak oleh penggemar band tersebut yang sepertinya bukan hanya berasal dari Jakarta. Darel mengedarkan pandangan, ini baru pertama kalinya dia merayakan tahun baru lagi setelah kematian Bunda.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now