14. Empat Belas

26 9 18
                                    

Darel melepaskan helm setelah motornya terparkir sempurna di halaman kediaman Rafardhan. Dia turun dari motor kemudian melangkah memasuki rumah yang sudah lama tidak dia kunjungi. Rumah ini tidak banyak berubah, kecuali beberapa foto yang diubah susunannya.

Dengan santai Darel melenggang ke arah dapur karena teriakan salamnya tidak mendapat sahutan—berharap Budhe ada di sana. Dia rindu menggoda wanita itu. Namun, harapannya harus pupus ketika dapur tampak kosong tak berpenghuni.

Suara derap langkah kaki dari depan membuatnya tersenyum. Darel berbalik arah dengan cepat dan menghampiri asal suara tanpa memperhatikan siapa pemiliknya sembari bertanya,

"Budhe nggak ada di rumah, Yah?"

Darel mematung, begitupun seseorang yang baru saja pulang. Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya kalau itu adalah langkah kaki Alaric.

Kikuk. Darel tidak tahu harus berekspresi seperti apa setelah sekian lama tidak bertegur sapa. Melihat Alaric hanya diam dengan tatapan yang masih sama tajamnya membuat Darel menunduk. Tidak tahu kenapa karena hal itu reflek dia lakukan begitu saja, seolah ada tombol otomatis yang menggerakkannya.

Alaric memilih pergi meninggalkan Darel, saat keterkejutannya mulai mereda. Tanpa menanyakan kabar atau basa-basi apa pun layaknya saudara yang sudah lama tidak bertemu.

Darel pun juga tidak pernah mengharapkan itu. Di tengah pergulatan batinnya, pemilik suara berat yang ingin dia temui pun terdengar.

"Ingat pulang juga kamu?"

Zein berjalan mendekat dan memeluk putranya singkat.

Darel kira, dia tidak meridukan Ayahnya tapi ternyata salah. Seolah pelukan singkat tadi adalah sebuah kunci pembuka pintu yang sengaja dia tutup rapat agar rasa-rasa di dalamnya tidak berhamburan keluar.

Zein mengajak Darel duduk di ruang televisi tempat mereka dulu berbincang singkat disela-sela kesibukannya. Beliau menanyakan kabar dan berbagai macam pertanyaan yang menurut Darel adalah hal sepele. Ayahnya mendadak cerewet malam ini. Beliau juga meminta maaf karena tidak mengajak Darel pergi makan malam dengan Alaric, itu karena Ayahnya tidak tahu dia akan datang.

"Budhe ke mana, Yah?"

"Kenapa nyari Budhe terus, sih?"

"Kangen godain Budhe."

"Nggak kangen godain Ayah?"

"Idih."

Ayahnya tersenyum.

"Yah.. Eum.."

Zein menaikkan alis. Firasatnya mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan putra bungsunya ini.

"Kenapa?"

"Pak Anton nyuruh Ayah datang ke sekolah besok."

"Kamu ngapain lagi, De? Malak?"

"Enggak, Yah kali ini beda."

"Apa?"

"Darel ketahuan nonton.. Eum, video porno."

Sontak Zein menutup wajahnya dengan telapak tangan kanan kemudian dia turunkan untuk menumpu dagunya. Menatap Darel tidak mengerti. Anaknya ini sungguh tidak keren.

"Kamu itu kalau nakal yang pro dong, De. Kalau nggak bisa jangan nakal di sekolah. Malu-maluin. Ayah nggak mau ke sana."

Darel berdecak. "Yah.. Ponsel Darel nggak bakalan balik kalau bukan Ayah yang ngambil."

"Terus kamu mau Ayah ke sana ngambil barang bukti itu?"

"Dari pada aku minta ponsel baru 'kan."

I'm (not) Bringer Of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang