11. Sebelas

48 9 39
                                    

Tak!!

Sebuah peluru tertancap tepat pada foto yang berada di tengah papan dart. Sang pelempar kembali melempar peluru kedua dengan geram.

"Dek, lihat!" Seorang bocah 15 tahun menunjukkan potret adiknya dengan ekspresi yang jelek.

"Abaang!!"

Adiknya pun seketika berlari mengejar sang kakak. Wajahnya sangat buruk di foto itu. Dia tidak suka.

"Bang, siniin kameranya, fotonya jelek banget!"

Aksi kejar-kejaran pun terjadi.

"Lucu tahu!"

"Nggak!"

Sang adik pun berhenti, menyerah karena tidak bisa menangkap kakaknya. Dengan ekspresi cemberut dia  berbalik arah menuju rumahnya.

"Dek, mau ke mana?"

"Capek, Adek mau makan dulu sama Bunda."

"Awas ntar gemuk makin nggak bisa ngejar Abang!" teriaknya saat adiknya yang memiliki pipi gembul itu berlalu pergi.

Pemuda itu mengacak rambutnya kesal. Berusaha menghilangkan bayangan-bayangan tadi agar tidak memutarkan momen selanjutnya. Dia tidak ingin mengingat apa pun kisah bocah-bocah itu lagi.

Ketika matanya tertuju kembali pada foto tersebut. Kenangan empat tahun silam kembali berputar.

"Awas-awas, minggir!"

Seorang siswa yang masih memakai seragam SMA berlari menerobos kerumunan yang berkeliling di depan rumahnya.

Matanya membulat ketika sisi kiri rumahnya dipenuhi kobaran api yang besar. Menjilat-jilat. Siap menyambar siapa saja yang berani mendekat.

Tanpa berpikir panjang dia berlari ingin masuki bangunan itu. Semua orang berteriak dan mencegahnya untuk masuk. Tangannya dicekal kuat.

"Lepas!" Dia memberontak sekuat tenaga.

"Jangan ke sana, Bahaya!" teriak seorang bapak bertubuh tegap yang tengah memegangnya.

"Bunda dan Adik saya di dalam, Pak!"

"Biar petugas yang menanganinya."

Pemuda itu pun mengalah, gerakannya berangsur melemah. Menatap para petugas mengeksekusi kebakaaran itu penuh harap. Sesekali dia menggigit bibir dan mengepalkan tangan—berusaha menahan diri agar tidak berlari masuk ke dalam. Namun, pertahanannya gagal ketika semburan api justru semakin menjadi.

"Adik saya di dalam, Pak. Tolong dia!" Teriaknya ketika tangannya kembali dicekal.

Pemuda itu memberontak lagi, berteriak kesal. Semua orang yang ada di sana tidak ada gunanya. Mereka hanya bisa berteriak ricuh dan melihat tanpa mau bertindak. Dia pun tidak lagi sempat berpikir untuk menghubungi sang Ayah. Hatinya ketar-ketir memikirkan bagaimana keadaan Bunda dan Adiknya yang ada di dalam bangunan itu.

Pemuda itu meraung-raung. Berusaha melepas tangannya dengan geram. Kenapa petugas kebakaran itu lamban sekali?!

"BUNDAA!!!"

Dia berlari sekuat tenaga ketika cekalan di tangannya di lepaskan. Tidak peduli dengan kakinya yang tersandung beberapa kali. Api sudah mulai padam.

Tangannya meremas kuat peluru yang sedari tadi dia genggam. Tidak lagi peduli dengan rasa panas pada telapak tangan akibat tertusuk sisi-sisi peluru itu. Giginya saling beradu.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now