41. Empat puluh Satu

10 3 0
                                    

Suara derap langkah kaki saling bersahutan. Buru-buru keluar dari kelas untuk menyambar kendaraannya masing-masing. Tidak peduli lagi dengan pelajaran apa yang harus mereka lewati. Karena kabar yang datang tiba-tiba begitu menyayat hati.

"Minggir, Pak!" Begitu teriaknya pada Pak Bagus yang baru saja ingin menutup pintu gerbang setelah mobil kepala sekolah keluar. Karena teriakan itu pula Pak Bagus menepi dengan kelabakan. Takut tertabrak motor atau mobil murid yang buru-buru keluar.

"Surat izinnya mana?!"

Tidak ada yang menjawab. Yang mereka tahu mereka harus sampai di rumah temannya tepat waktu untuk memastikan sesuatu. Dengan hati penuh debar khawatir, juga doa yang terus terpanjat dalam benak. Gas mereka tancap kuat. Hingga mereka sampai pada satu rumah bergerbang besar tertutup rapat. Satu persatu dari mereka menurini kendaraannya. Kemudian menekan bel. Tidak ada sahutan sama sekali. Tanpa komando, mereka pun membagi diri untuk menekan bel, menggedor gerbang, ada juga yang memanggil sang tuan rumah. Tapi naas, lagi-lagi tidak ada respon apapun.

Mereka mundur perlahan menatap gerbang itu nanar. Apa mereka sudah terlambat?

Headline kabar berita hari ini kembali terbayang dalam ingatan mereka.

Tawuran geng motor menelan korban

Polisi tetapkan tersangka pelaku tawuran

Mungkin judul-judul kabar berita itu terdengar biasa saja jikalau tidak ada foto seorang pemuda meringkuk berlumuran darah di tengah segerombolan pemuda lain. Memang gambarnya tidak begitu jelas, tapi siapapun yang mengenalnya pasti tahu bahwa itu Darel. Kentara dari postur tubuh, setelan baju yang sering dia kenakan, ditambah foto motornya yang remuk.

"Jangan ngerasa sendirian, Mar. Ada gue sama Attala." Damar mengepalkan tangannya untuk menyalurkan emosi ketika bayangan momen bersama Darel kembali terputar. Bagaimana bisa pemuda itu bilang jangan sendirian di saat dia justru menanggung apapun sendirian?

"Biar Tuan putrinya mandiri. 'Kan nggak selamanya ada kurcaci yang nglayanin dia." Dira sudah menangis dalam pelukan Rena. Seluruh pemikiran buruk tumpah ruah di kepalanya.

"Darel pasti nggak kenapa-napa 'kan, Ren?"

Alih-alih memberikan harapan yang tidak pasti, Rena hanya sanggup merangkul dan mengusap lembut bahu Dira.

"Nah. Lo gak bisa atur kemauan orang walaupun punya segalanya." Brandon mengangguk lemah menyetujui ucapan Darel waktu itu. Hal itu benar adanya, dia tidak bisa mengatur apapun dengan apa yang dia punya, termasuk mengatur kemauan Tuhan akan takdir yang DIA buat.

"Ngomong-ngomong malam itu lo belum cerita banyak. Kalau butuh temen curhat, gue bisa jadi pendengar yang baik."

Ucapan Darel saat di perpus waktu itu kembali menari-nari dalam ingatan Maga.

"Mau diceritain sepanjang dan selengkap apapun. Apa itu bisa ngubah takdir hidup gue?"

"Seenggaknya beban lo berkurang. Gue mungkin nggak bisa bantu nyelesaiin masalah lo. Tapi, gue cuma mau lo tau kalau lo punya temen. Kita, Circinus, itu temen-temen lo. Kita akan selalu ada di samping lo, Bang."

"Tapi sekarang lo ke mana? Circinus gak lengkap tanpa bocah kek lo." Maga memasukkan kedua telapak tangannya pada saku celana. Tangannya mengepal kuat dibalik lipatan kain itu, wajahnya mungkin nampak tak menunjukkan ekspresi apa pun namun jauh di dalam gelap matanya memancarkan rasa kehilangan yang cukup jelas. Lagi dan lagi dia harus merasakan kehilangan.

I'm (not) Bringer Of DeathWhere stories live. Discover now