Chapter 35: Broken

8.6K 676 50
                                    

( Anne's Pov )

Selama beberapa menit, aku hanya bisa terdiam kaku. Posisiku terkapar di atas lapangan gymnasium yang sekarang keadaannya seperti medan perang. Atap ruangan ini runtuh dan memenuhi seisi ruangan gymnasium, menimpa siapapun yang ada dibawahnya.

Tidak terkecuali aku. Aku beruntung karena berkat perisai Mandy aku selamat dari bongkahan tiang besar yang tadi terjun ke atas kepalaku. Tapi aku tidak bohong kalau aku kaget dan takut atas perbuatanku sendiri.

Apakah Fransisca sudah mati?

Dengan susah payah aku mendongak. Aku tidak bisa melihat apapun selain puing-puing atap yang berserakan dimana-mana. Menahan rasa nyeri di kakiku, aku berusaha berdiri. Berjalan melangkahi puing-puing tajam yang besar—mencari keberadaan penyihir sialan itu. Namun aku tidak menemukannya.

Sial. Dia berada di bawah puing-puing ini atau sempat kabur?

Kuusap rambutku ke belakang dengan kesal. Aku terduduk di atas sebuah seng, memandangi langit yang mendung.

Kenapa ini harus terjadi padaku?

Brengsek!

Dengan emosi aku mencengkeram seng di bawah kakiku ini. Dan di saat yang bersamaan, suara petir yang begitu keras memecahkan keheningan. Berlanjut ke hujan yang turun dengan derasnya bersama angin yang berhembus kencang.

Aku tidak jauh berbeda dengan Fransisca.

Aku penyihir!

...

Aku harus cepat pulang. Sebelum para guru memergokiku dan bisa saja mereka menuduhku yang menghancurkan gymnasium. Walaupun percuma karena jika mereka berfikir dengan 'akal sehat', pasti mereka mengira ruangan ini hancur karena gempa yang terjadi tadi.

Aku keluar gedung sekolah melalui pintu keluar yang terdapat di gymnasium. Aku muncul di gang kecil disebelah gedung sekolah. Menyaksikan para siswa dan guru sekolahku yang masih enggan memasuki sekolah.

Lebih baik aku pulang.

Kebetulan sebuah taksi kosong melintas di depanku. Aku menyetop taksi itu dan segera masuk sebelum ada siswa maupun guru West High yang memergokiku. Aku memberitahu alamat rumahku lalu taksi melaju pelan ke arah rumah.

Apa yang kulakukan?

Aku menghancurkan sekolah.

Aku mendongak. Memandangi pantulan wajahku dari kaca spion di atas dashboard. Astaga. Tampangmu sungguh kacau, Breanne. Penuh guratan emosi yang menyedihkan.

"Kau tidak apa kan, Nona?"

Kulirik sopir taksi ini. Ia melirikku dari kaca spion dengan penuh keheranan.

"Ya," sahutku pendek. Aku mengusap rambutku yang basah dan berdebu karena puing-puing gymnasium tadi ke belakang, lalu melirik sopir. "Kau punya tisu?"

Ia tidak menyahut. Hanya memberikan sekotak tisu yang masih penuh kepadaku. Aku mengambil berlembar-lembar banyaknya untuk menghapus noda darah di tangan, kaki dan dahiku. Namun percuma karena darahnya terus mengalir.

"Kau tahu ... sebaiknya aku mengantarmu ke RS dulu."

"Tidak! Aku baik-baik saja. Tolong lebih cepat!"

Dengan pasrah sopir menurut. Dalam waktu setengah jam aku tiba di rumah. Aku segera membayar ongkosnya dan bergegas memasuki rumah.

Kesan pertama yang kudapat ketika memasuki rumah adalah; sunyi senyap. Lampu-lampu di rumah ini pun mati, menyebabkan rumah menjadi gelap gulita. Apalagi diluar mulai turun hujan.

COUNTDOWNWhere stories live. Discover now