Chapter 7: Is That Real?

16.4K 1K 27
                                    

(Anne's Pov)

Hari sudah menjelang malam ketika Greyson baru mengantarku pulang. Pukul tujuh, kami baru tiba di rumah. 

"Terima kasih, Greyson."

"Tak masalah."

Lalu, hal yang kupikirkan selama perjalanan pulang tadi kembali menggangguku. Aku menoleh padanya yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya. 

"Greyson," panggilku ragu.

Greyson menoleh padaku sambil mengenggam ponselnya. "Ada apa?"

"Apa kau ... akan menjauhiku? Setelah apa semua yang kuberitahu padamu?"

Ia menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena kemampuanmu itu."

"Aku kira kau takut, atau bahkan menganggapku aneh-"

"Sama sekali tidak. Aku ada di sini bersamamu. Walaupun nanti aku terluka karena itu, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Aku akan melindungimu."

Aku tersenyum padanya. Kuharap, dia mengatakan itu bukan hanya agar membuatku tenang. Aku harap dia bersungguh-sungguh mengatakannya. Untuk selalu bersamaku.

"Baiklah," aku tersenyum semanis mungkin padanya saat beranjak keluar mobil. "Selamat malam."

Selamat malam. Saat itulah kusadar kalau sekarang sudah pukul tujuh sore dan sebelumnya aku tak pernah pulang selarut ini. Jika iya, aku selalu mengabari Niall dan aku lupa melakukannya. Ugh, dia akan marah besar.

Buru-buru aku memasuki rumah. Sepi, televisi masih mati, dan tidak ada tanda-tanda Niall di dapur maupun kamar tidurnya. Tapi, aku tahu dia sudah pulang. Mobilnya terparkir di car pit. Jadi, kurasa dia menunggu di kamarku.

Dan dugaanku benar. Begitu aku membuka pintu, dia berdiri di seberangku. Berdiri sambil bersedekap tangan. Walaupun gelap dan aku tidak bisa melihat jelas ekspresinya, aku tahu dari gelagatnya dia geram. 

"Oke, aku salah."

"Tentu saja."

Aku menghela nafas. "Aku lupa, oke? Sebelum kau berteriak, aku akan memberitahumu," kuletakkan ranselku di atas meja belajar sebelum menghampirinya. Ia menyalakan lampu dan ekspresi geramnya semakin jelas. "Ayolah, tenang. Lagi pula aku tidak pergi ke tempat berbahaya."

Ekspresinya melunak. Kini ia terlihat khawatir daripada marah. "Aku mendengar berita, Anne. Seorang siswa tewas tertabrak di depan sekolahmu," ia berkata, masih bersedekap selama menunduk padaku. "Apa ada hubungannya denganmu?"

Aku meliriknya cemas. Aku tidak tahu apa dia akan marah atau tidak jika aku memberitahunya. Aku hanya diam saat menunduk dari wajahnya. 

"Maaf ..." aku berusaha menahan air mataku yang ingin jatuh. "Aku menyesal."

Kudengar ia menghela nafas. Saat aku kembali mendongak padanya, ia memijat tulang hidungnya, lalu kembali menatapku, "Aku tahu kau tidak akan melakukannya ke sembarang orang. Apa dia salah satu yang menindasmu?"

Aku mengangguk.

"Apa terjadi sesuatu padamu saat kau melakukannya?"

Aku lagi-lagi menunduk. 

"Anne ..." ia memanggilku pelan. "Sebaiknya kita ke dokter sekarang. Ini sudah kedua kalinya kau pingsan."

"Tidak," aku menolak. "Aku tahu aku pingsan bukan karena kondisi kesehatanku. Kurasa aku pingsan karena aku melakukannya lagi, Niall."

"Biasanya itu tidak terjadi. Aku-"

"Karena aku memang tidak pernah melakukannya lagi sejak tahun lalu, ingat? Saat aku membuat laki-laki yang memalakmu tertabrak mobil?" 

COUNTDOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang