Epilog

13.8K 760 138
                                    

7 Tahun Kemudian ...

"Breanne, apakah naskah George sudah kau ambil?"

"Belum!" aku menyahut cepat saat mendengar pertanyaan Bos-ku, Kendall--yang juga merupakan istri dari teman Niall, yaitu Harry Styles.

Kendall merupakan pemimpin redaksi tempatku bekerja—New York Central Publisher. Begitu aku lulus dari NYU, aku langsung ditawarkan posisi Editor di penerbit ternama di New York ini. Tentu saja aku tidak menolak kesempatan ini. Tidak sia-sia bukan, setelah aku belajar susah payah selama tiga tahun hingga mendapatkan hasil yang sempurna (dan pekerjaan impian)? Begitu aku memberitahu Niall dan Ariana (istrinya) tentang ini, mereka menangis bahagia dan langsung memelukku.

Mereka benar-benar sepasang suami-istri yang dramatis.

"Bukankah dia sudah menunda deadline selama tiga hari?" sungut Kendall seraya berjalan memasuki ruanganku.

"Apa kau mau aku ke rumahnya sekarang untuk mengambil naskahnya?" Tanyaku, menawarkan diri. Lagi pula aku tahu dimana rumah George dan jaraknya dapat ditempuh setengah jam berkendara.

Tak kuduga, Kendall langsung menggeleng. "Jangan! Kau sudah mempunyai banyak pekerjaan dan kudengar dari Dylan, kau selalu lembur! Breanne, kau butuh istirahat. Pulanglah."

Aku mengernyit mendengar ucapan Kendall. Kini aku melirik Dylan—seseorang yang menjabat di bagian desainer grafis, yang letak mejanya tepat diseberang ruanganku. Ia nyengir, melambaikan tangannya padaku dengan riang. Dasar pengkhianat.

"Aku melakukannya agar dapat pulang cepat di akhir pekan," tukasku, memberi alasan.

Kendall menggeleng. "Kau terlalu rajin! Memangnya pacarmu tidak marah kau selalu begadang demi pekerjaan?"

Pacar apanya? Aku bahkan belum pernah berpacaran lagi sejak umurku 16 tahun, dan kalian pasti tahu siapa orang itu.

"Aku tidak punya pacar," tegasku dengan agak heran.

Kendall malah tertawa. "Wanita karir sepertimu? Oke, cukup. Kau boleh pulang. Bersantai dan bergaul-lah!" perintah Kendall dengan tegas. "Sampaikan salamku kepada Niall, Ariana dan ... siapa nama anak mereka?"

"Donnie." Aku menyahut cepat. Kuraih tas dan mapku lalu menghampiri Kendall. "Terima kasih banyak! Kau bos terbaik. Sampaikan salamku juga kepada Harry dan anak kalian—Lily, ya?"

Kendall tersenyum simpul. Ia melenggang menuju ruangannya sedangkan aku menghampiri Dylan, yang tampak sok sibuk mengetik sesuatu sambil sesekali membenarkan posisi kacamata-nya.

"Idiot, kau tidak perlu melakukan itu," kataku dengan kesal, namun tentu saja maksudku bercanda. Mana mungkin aku bersikap kejam kepada seseorang yang jelas-jelas berniat membantuku?

Dylan mendongak, menatapku dari balik kacamata minus-nya. "Sama-sama, Sayang. Aku senang kau dapat pulang cepat setelah berbulan-bulan lamanya," sahut Dylan sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.

"Dasar genit!" aku meninju lengan kirinya pelan. Pukulanku membuatnya meringis sekaligus tertawa. "Ada maksud kenapa kau melaporkan hal ini kepada Kendall?"

"Well," Dylan tersenyum manis. Jujur saja, senyumannya itu menular, jadi aku pun ikut tersenyum karenanya. "Kita belum pernah pergi hang out berdua."

Sudah kuduga. Aku tersenyum miring mendengar jawabannya, lalu sedikit membungkuk untuk mendekati wajahnya. "Baiklah. Kau menang."

Kedua mata Dylan melebar. Ia bersorak girang, membuat beberapa teman kami yang masih sibuk bekerja menoleh padanya dan meneriakinya untuk diam. Aku tidak bisa menahan untuk tidak tertawa karena tingkah mereka.

COUNTDOWNWhere stories live. Discover now