Chapter 29: The Truth

8.5K 657 54
                                    

Aku masih terpaku, bingung dalam fikiranku sendiri. Ini bukan kebetulan. Bukan. Aku harus mencari penyebab dan apa yang terjadi hingga kuburan keluarga Anne, juga Jack, Mandy, Hannah dan anggota keluarga Cody di jejerkan seperti ini.

Sepertinya terjadi sesuatu diantara mereka hingga mereka dikubur berjejer seperti yang kulihat sekarang.

"Hei," Anne bangkit, berdiri di depanku. "Ada apa?"

Aku membalikkan bahu Anne agar dia memerhatikan kuburan di sekitar kuburan orang tuanya itu. Dia mengernyit, memerhatikan kuburan itu satu persatu.

Lama kelamaan, dia speechless. Dia tampak heran, kaget dan shock. "Ke-kenapa bisa?" Gumamnya lirih.

"Kita harus mencari tahu, Anne," aku menatap Anne yang memunggungiku. "Kalau boleh aku tahu, apa penyebab orang tuamu meninggal?"

Dengan cepat Anne menggeleng. "Saat itu umurku 4 tahun dan Niall 8 tahun. Aku tidak ingat apa-apa, Niall pun tidak tahu penyebab orang tua kami meninggal karena tidak ada yang mau memberitahunya karena saat itu pun, dia hanyalah anak kecil," kata Anne dengan raut wajah sedih.

"Tapi aku yakin, Niall sekarang sudah tahu," tebakku sok tahu. Tapi, bisa saja, bukan?

"Entah kenapa, tapi aku yakin penyebabmu bisa memiliki kemampuan seperti sekarang adalah apa yang dilakukan orang tuamu sehingga mereka meninggal--mungkin. Dan kenapa Hannah, Jack, Mandy dan Cody juga bisa mendapatkan kemampuan sepertimu."

"Lalu, kau? Tidak ada kuburan bernama belakang Chance disini."

"Ya, memang tidak. Makanya kita harus mencari tahu, bukan begitu?" Tanyaku seraya mendesah bingung.

Anne tidak menyahut. Ia kembali berjalan ke kuburan kedua orang tuanya, mengusap nisan keduanya penuh sayang.

Ia sungguh gadis yang tegar. Ditinggalkan kedua orang tuanya sejak kecil, mengalami kehidupan yang berat selama tinggal bersama Bibinya, juga tindakan penindasan disekolah--yang untungnya sudah tidak Ia alami. Ia beruntung, Ia memiliki kakak yang selalu melindungi dan menyayanginya.

"Greyson, ayo pergi."

Aku memandangi Anne yang berdiri di depanku. Ia tersenyum masam, "ayo kita tanyakan ini kepada Niall," ucapnya.

"Baiklah," aku mengusap pipinya. "Ada yang harus kulakukan dulu. Duluan ke mobil, ok?" Aku menyerahkan kunci mobilku padanya.

Anne mengernyit, tampak penasaran. Akhirnya Ia memutuskan berjalan meniji mobil, meninggalkanku sendirian di depan kuburan kedua orang tuanya ini.

Setelah memastikan dia telah pergi, aku beranjak ke samping kuburan kedua orang tua Anne. Aku diam, memandangi kedua batu nisan yang tampak bersih karena Anne membersihkannya tadi.

Oke ... ini aneh. Kenapa aku merasa canggung? Seperti kedua orang tua Anne benar-benar di depanku, dalam keadaan hidup.

"Hm ..." aku menelan ludah.

Gila kenapa aku tiba-tiba gugup?

"Anne sudah menceritakan tentangku pada kalian. Tapi aku belum berbicara kepada kalian tadi," aku menggaruk pipiku yang tidak gatal.

Hening beberapa detik.

"Oke. Aku harus menyelesaikannya," aku membenarkan posisiku sekarang--menjadi duduk di atas tanah disebelah kuburan. Kemudian kupandangi keduanya lagi, "kalian memiliki anak-anak yang hebat."

Teruskan. Tak perlu malu.

"Anne beruntung memiliki kakak sehebat Niall. Niall sangat menyayangi Anne, selalu melindunginya dan tak segan menendang dan mendamprat langsung seseorang yang melukai dan mengganggu adiknya. Dia sangat bertanggung jawab, dan ... aku merasa lega karena jika aku tak ada, Niall selalu ada di sisi Anne. Selalu mencintai dan melindunginya."

COUNTDOWNWhere stories live. Discover now