Subject 31

3.3K 446 14
                                    

Mobil yang dikendarai Reiga berhenti di depan sebuah gedung tinggi, tempat di mana kantor Kala berada. Laki-laki yang pagi itu mengenakan kemeja berwarna cokelat susu itu menatap Kala yang duduk di sebelahnya dengan tatapan lurus. Ia membantu Kala melepas sabuk pengaman sambil memberikan wanti-wanti untuk Kala. Mengatakan larangan ini-itu. Hanya boleh melakukan ini-itu, dan sebagainya.

"Hape kamu nggak boleh mati dan harus dibawa ke mana pun kamu pergi. Ngerti?" tandas Reiga.

"Oke." Kala menjawab dengan super singkat. Wanita itu sudah khatam dengan semua wejangan yang telah Reiga katakan berulang-ulang sejak semalam.

Reiga tampak tidak puasa dengan jawaban asal-asalan itu. "Ingat, Kalandra, kamu harus langsung telepon aku kalau kamu kenapa-kenapa dan butuh sesuatuㅡ"

"Kamu berharap aku kenapa-kenapa?" sela Kala dengan wajah cemberut.

"Kalandra! Kamu tahu maksudku bukan begitu!" ucap Reiga dengan geraman tertahan.

"Iya, Reiga. Aku ngerti." Kala mengusap lengan Reiga. "Kamu adalah orang pertama yang akan aku hubungi kalau aku ngerasa nggak baik-baik aja di kantor. Aku akan langsung kabarin kalau terjadi sesuatu. Aku juga akan rutin gangguin kamu kalau aku gabut."

Reiga pun akhirnya bisa mengulas senyum yang meneduhkan. "That's my woman!"

Tangan Reiga terangkat mengacak rambut Kala. Setelah menurunkan tangan, Reiga menatap Kala dengan penuh kasih. Kemudian ia melabuhkan kecupan di kening Kala. Bibirnya bertahan di sana cukup lama. Setelah membebaskan bibir dari kening Kala dan sedikit menjauhkan badan, ia mendesah. Berat rasanya meninggalkan Kala di sarang predator itu.

"I will be fine, Rei," bisik Kala. Wanita itu mendongak untuk mengecup ujung bibir Reiga. "Aku turun ya," kata Kala kemudian beringsut mundur.

"Sebentar," tahan Reiga.

Gerakan Kala terhenti karena Reiga tiba-tiba menariknya dalam pelukan erat. Kala tak menolak dan membalas rengkuhan lengan hangat itu dengan sama eratnya. Pelukan itu bertahan cukup lama. Kala yang pertama menjauhkan diri.

"La, aku nggak bisa." Reiga benar-benar terlihat tidak rela. Reiga menggenggam tangan Kala dengan erat. Tak ingin ia lepaskan.

Kala membiarkan tangannya berada dalam genggaman Reiga dan meremasnya pelan. "Sayang, katanya kamu mau aku sembuh, iya, kan? Aku nggak mau hidup nggak tenang. Aku mau menghadapi ini biar aku bisa lepas dari bayang-bayang sialan itu. Kamu bilang kalau ini akan berat, dan kita akan hadapi ini sama-sama. So, here we are. Aku berjuang di sini untuk melawan ketakutanku. Kamu berjuang di depan hakim nantinya, memperjuangkan keadilan untuk aku dan orang-orang di luar sana." Kala mengunci tatapan Reiga. "Bantu aku, Rei, please. Jadi, tolong jangan begini."

Reiga tergugu. Ia tertampar keras oleh kata-kata Kala. Bukankah dia yang seharusnya menenangkan Kala? Kenapa jadi seperti ini? Kenapa seolah dia yang paling tersiksa dengan keadaan, di saat Kala mati-matian untuk bangkit meskipun kakinya berdarah-darah dan penuh luka?

"I'm sorry." Reiga berucap lirih sembari mengelus pipi Kala dengan lembut. Ia berusaha menepis rasa khawatir berlebihan yang menyesaki dada.

Mereka berdua membagi senyum untuk saling menguatkan.

"Aku udah boleh turun sekarang?" tanya Kala.

Meski tidak cukup rela, Reiga melepas genggaman tangannya.

"Jangan terlalu kepikiran, Rei. Kamu tetap harus fokus sama kerjaan kamu, oke?"

Reiga mengangguk.

Setelah Kala pamit dan keluar dari mobil, Reiga tak langsung beranjak pergi. Ia menatap punggung Kala yang tampak rapuh itu dengan tatapan yang seperti tak rela untuk melepaskan. Reiga membuang napasnya kasar. Dengan harapan, batu besar yang menekan dada hingga terasa sesak itu ikut terbuang.

WALKING DISASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang