Subject 38

2.4K 274 10
                                    

Esok harinya, saat Reiga bertanya langsung kepada Ibu tentang keinginan wanita itu agar Kala pindah ke Ungaran, Ibu langsung mengiakan. Rupanya Ibu juga tidak main-main. Ibu bahkan seolah melihat harapan itu bisa jadi nyata saat Reiga bertanya langsung kepadanya. Tetapi Ibu tidak menggebu-gebu seperti Kala yang sudah sangat yakin akan pindah dan tinggal menunggu waktu saja. Ibu bahkan berkata dengan jujur bahwa Kala belum memberikan jawaban tentang permintaannya itu. Ibu juga tampaknya tidak berharap terlalu banyak.

"Ibu kan tahu kalau aku nggak mungkin pindah kerja. Aku ini kerjanya terikat kontrak, Bu. Nggak bisa tiba-tiba resign."

"Ibu nggak minta kamu resign," jawab Ibu yang cukup kaget karena anak lelakinya tampak sangat kesal.

"Terus Ibu mau aku gimana?"

"Ya kamu tetap kerja di Jakarta. Biar Kala tinggal sama Ibu di sini."

"Nggak bisa gitu dong, Bu. Ibu masa tega aku jauh-jauhan sama Kala?"

"Le, Ibu sebenarnya juga nggak terlalu berharap Kala mau menuruti permintaan Ibu. Ibu nggak memaksa Kala sama sekali, Ibu nggak bohong. Ibu cuma bilang kalau Ibu mau Kala tinggal di sini saja sama Ibu. Kalau Kala mau, Ibu akan sangat senang dan bersyukur. Kalau Kala nggak mau, ya nggak masalah. Ibu cuma mau yang terbaik buat Kala."

"Yang terbaik buat Kala itu tinggal di dekat mama dan papanya, Bu. Bukan tinggal di sini. Kala sama aku kan juga belum menikah. Nggak mungkin Kala tinggal di rumah Ibu tanpa aku."

"Kala benar-benar serius mau pindah ke Ungaran memangnya?"

Reiga mengangguk lesu. "Kami berdua udah sepakat kalau mau nikah tahun depan, setelah menyelesaikan semua masalah dan kita berdua udah pulih. Tapi Kala udah ngeyel banget maunya pindah ke sini, ngekos pun nggak papa."

"Jangan ngekos dong! Mana bisa Ibu biarin Kala ngekos?" protes Ibu. Sengaja tidak membahas soal rencana pernikahan anak dan calon menantunya. Walaupun sudah sangat ingin menjadikan Kala menantu, Ibu mencoba bersabar sedikit lagi. Sebab, saat ini yang jauh lebih penting untuk dipikirkan adalah keadaan Kala. Mendesak Reiga dan Kala untuk segera menikah hanya akan semakin menambah beban pikiran.

"Aku juga nggak izinin, Bu. Tapi Kala itu susah dibilangin kalau udah punya kemauan. Aku juga bingung sekarang mau gimana biar Kala membatalkan niatnya pindah ke sini."

"Memangnya Kala sudah minta izin mamanya? Boleh pindah ke sini?"

"Baru mau bilang nanti kalau aku sama dia balik ke Jakarta. Soal resign juga, Kala kan belum bilang ke keluarganya."

Ibu menatap anak lelakinya dengan prihatin. Tampak sekali anaknya tengah memikul beban yang cukup berat. "Maaf, Le, Ibu sama sekali nggak ada niat bikin kamu tambah stres. Biar Ibu yang coba bicara sama Kala—"

"Jangan, Bu," cegah Reiga. Reiga tidak mau Kala mengira ia mengompori Ibu agar berubah pikiran dan 'memihak' dirinya. "Kalau memang nanti Kala masih bersikukuh pindah ke sini dan mamanya kasih izin, nanti kita diskusikan lagi enaknya gimana. Aku tanya ke Ibu tadi cuma buat memastikan aja. Kalau Kala nggak pindah ke sini, Ibu nggak akan kecewa, kan?"

"Kenapa harus kecewa? Paling Ibu cuma sedih sebentar karena nggak jadi tinggal dekat dengan calon mantu Ibu. Yang penting buat Ibu itu Kala sehat lahir batin. Kala bahagia dan nggak sedih lagi. Itu saja."

"Makasih ya, Bu."

"Halah. Makasih buat apa? Ibu yang seharusnya berterima kasih ke kalian. Karena kalian sangat memikirkan perasaan Ibu, jengukin ke sini walaupun kamu sibuk, mau mempertimbangkan keinginan Ibu. Terima kasih ya, Nak. Karena kamu nggak hanya menjadi kuat untuk keluargamu, tapi juga untuk Kala—"

WALKING DISASTERWhere stories live. Discover now