Subject 34

3.2K 371 21
                                    

Sebuah peluk dari Kala selalu bisa mengembalikan energi yang telah terserap habis untuk bekerja seharian. Reiga membutuhkan pelukan itu terutama untuk hari ini. Proses interogasi tidak lama, tetapi energinya terkuras habis hingga rasanya Reiga ingin langsung merebahkan badan di tempat yang nyaman saat keluar dari ruang interogasi tadi. Reiga harus menundanya selama beberapa jam hingga akhirnya bisa pulang dan bertemu dengan Kala.

"I'm doing sooo well today," gumam Reiga.

Laki-laki itu memeluk Kala erat sekali. Memanjakan hidungnya dengan aroma Kala sehabis mandi dan memenuhi paru-parunya dengan aroma Kala yang semanis vanilla itu. "Aku berhasil buat nggak mukulin Farengga. I did a good job, right?"

"Of course you do." Kala merenggangkan pelukan untuk menatap wajah Reiga. Ia memaku mata Reiga dengan tatapan lembut. "I'm so proud of you."

Dan senyum Kala adalah alasan Reiga menahan segala emosi yang sesungguhnya sudah berkumpul di kepalan tangannya saat detik pertama ia bersitatap dengan mata Farengga. Kepalan tangannya yang hampir melayang ke wajah Farengga dan membuatnya remuk hingga tak bisa dikenali. Seandainya saja Reiga menutup mata dan mengabaikan apa yang Kala katakan, mungkin malam ini ia tidak akan bisa di sini bersama Kala. Ia akan berada di balik sel tahanan karena menghancurkan wajah tersangka saat interogasi.

"You finally met him," gumam Kala setelah keduanya berjalan masuk ke rumah.

Reiga menahan napas. Selalu berat rasanya saat membicarakan soal Farengga. Apalagi bicara langsung dengan salah satu korbannya. Tunangan Reiga sendiri. Itulah mengapa Reiga sudah memutuskan sesuatu hal penting setelah keluar dari ruang interogasi. Ia tidak bisa. Sekeras apa pun ia mencoba, ia tak akan bisa menjadi Reiga Lucas, si jaksa yang berhati dingin saat berada di meja hijau. Jika berhubungan dengan Kala, sulit untuk tetap menjadi rasional. Reiga hanya akan terus emosional saat bertatapan dengan Farengga. Benar, beban emosional itu hanya akan menghalangi proses.

Padahal Reiga pikir, ia akan bisa menjadi seprofesional mungkin karena selama bertahun-tahun ini, laki-laki itu sudah mengurus ratusan kasus dari kelas ringan hingga kelas berat. Ternyata, Reiga memang tidak sekuat itu. Ia memang berhasil menahan kepalan tangannya agar tidak melayang ke wajah Farengga. Ia berhasil untuk menahan hasrat membunuh yang menggelegak di dalam dirinya. Namun, dampaknya adalah pada emosi yang mengendap di dada. Emosi itu berupa percikan api. Rasanya begitu panas dan mengerikan. Seolah siap memberangus habis apa pun yang berhasil memantik percikan itu menjadi besar.

"Jangan memandangku begitu, Rei," kata Kala sembari membuang muka. Menarik Reiga agar duduk di sofa ruang tamu. "It's hard for me to deal with this. Yes. Tapi kalau kamu juga harus terus merasa bersalah karena ngerasa nggak bisa melindungi aku atau apa pun itu, please stop. Aku nggak suka kalalu kamu begini, Rei."

Kala amat bersyukur dengan adanya dukungan dari keluarganya dan juga dari Reiga. Tetapi dalam prosesnya, ia juga remuk redam karena Reiga terpengaruh dampak dari masalah yang ada. Laki-laki itu selalu tampak sedih meski sudah berusaha keras ditutupi dengan senyuman. Laki-laki itu seolah tidak ingin menambah beban di pundak Kala dan memilih menahannya sendirian meski mereka sudah saling berjanji untuk membagi segalanya bersama.

"Aku sayang kamu, La. Sayang banget," bisik Reiga lirih. Ia merapat pada tubuh Kala. Menumpukan kepala pada pundak wanita itu.

"Aku tahu, Rei. Aku selalu tahu." Kala membelai rambut Reiga dengan lembut. Menyisirkan jari-jemarinya pada rambut lelakinya yang sudah mulai panjang. "We can do this, Rei. Iya, kan?"

Saat hanya sedang berdua seperti ini, emosi Reiga terbaca jelas. Atau laki-laki itu memang membiarkan dirinya terbaca oleh Kala. Karena... lebih mudah membiarkan orang yang dipedulikannya tahu tanpa perlu ia susah payah mengatur kata-kata untuk melontarkannya.

WALKING DISASTERWhere stories live. Discover now