Subject 36

2.7K 313 10
                                    


Karena Kala ingin langsung bertemu Ibu, begitu tiba di Bandara Ahmad Yani, Reiga langsung memesan taksi dengan tujuan rumah sakit Kariadi, tempat ibunya kini dirawat.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Kala kembali gelisah. Reiga sampai harus mengancam kekasihnya dengan berkata bahwa mereka tidak akan jadi ke rumah sakit jika Kala tidak bisa tenang.

"Kita mau jengukin Ibu bukan untuk bikin beliau semakin sedih ngelihat kamu," ucap Reiga. "Kalau kamu nggak bisa tenang, kita pulang aja," sambung Reiga dengan tegas.

Kala tidak punya pembelaan apa-apa sehingga hanya bisa bungkam. Berusaha keras untuk tidak gelisah. Apa yang dikatakan Reiga sepenuhnya benar. Kala datang bukan untuk menambah beban di pundak Ibu. Kala ingin menemui Ibu untuk memberitahu secara langsung bahwa dirinya bisa bertahan dan akan baik-baik saja karena ada dukungan yang begitu besar dari keluarga. Kala ingin menunjukkan kepada Ibu bahwa dirinya adalah sosok yang kuat, yang akan bangkit lagi meski telah jatuh tersungkur dan tertimpa bebatuan yang meremukkan tulang.

"Ini, minum dulu." Reiga menyodorkan air mineral dari botol yang sudah laki-laki itu buka tutupnya.

Kala menerimanya tanpa menjawab apa-apa lalu minum beberapa teguk dan kembali mengangsurkan botolnya kepada Reiga. Selama beberapa belas menit selanjutnya keduanya tidak lagi bicara. Kala memeluk lengan Reiga dan menyandarkan kepala di dada kekasihnya seraya meyakinkan diri bahwa ia bisa melewati hari ini. Reiga sesekali mengecup puncak kepala Kala dengan lembut dan mengelus lengan Kala agar kekasihnya itu lebih santai.

Jarak yang ditempuh dari bandara ke rumah sakit tidak terlalu jauh, jalanan juga sedang lengang, sehingga hanya memakan waktu sekitar dua puluh menitan. Kala berhasil menunjukkan ketegaran di depan Bapak dan Pascal yang menjemput mereka di lobi rumah sakit. Saat ia menyalami tangan Bapak yang hangat, Kala juga masih bisa bersikap tenang seperti yang sudah Reiga ajarkan tadi.

Namun, ternyata sulit melakukan itu di depan Ibu.
Percayalah, Kala sudah berusaha dengan sangat keras. Tetapi saat melihat Ibu berbaring di atas brankar, tampak begitu rapuh dan lemah, Kala hancur juga. Wanita itu langsung menghambur ke arah Ibu yang terbaring tak berdaya di atas brangkar.

"Ibu," bisik Kala dalam suara yang bergetar menahan tangis.

"Ya Allah, Nduk. Anak Ibu," ratap Ibu. Membalas pelukan Kala dengan sama eratnya.

Tangis Ibu langsung mengudara. Seolah mengerti bahwa istrinya butuh ruang dan waktu bersama calon menantunya, Bapak hanya masuk untuk meletakkan plastik berisi buah di atas nakas samping brankar, yang dibeli Pascal tadi sembari menunggu Reiga dan Kala tiba di rumah sakit, lalu keluar lagi.

Reiga pun hanya di dalam sebentar. Mengecup rambut Ibu sekilas—belum sempat menyalami tangan Ibu yang sudah lebih dulu larut dalam tangis bersama Kala dalam pelukan erat yang mereka bagi, seolah tidak ingin melepaskan—dan mengelus punggung Kala yang bergetar karena tangis yang sama pilunya. Lalu Reiga berlalu dari sana tanpa mengucapkan apa-apa lagi dan menyusul Bapak.

"Kala nggak suka kalau Ibu begini. Kala nggak papa, Bu. Jadi Ibu juga nggak boleh sedih. Ibu Kita bangkit sama-sama ya, Bu." Kala masih memeluk tubuh Ibu erat. Seolah berada dalam pelukan Ibu bisa meluruhkan semua rasa sakit yang mendera. "Reiga nggak bisa fokus kerja karena mikirin Ibu. Kala juga nggak tenang kalau Ibu kayak gini. Jangan sakit lagi, Bu."

"Nggak ada ibu yang biasa-biasa saja sata tahu anaknya sedang tidak baik-baik saja, Nduk. Ibu... Ibu nggak bisa membayangkan saat kamu sendirian, ketakutan menanggung ini semua, Nduk." Ibu mengelus puncak kepala Kala seraya menyebut nama Tuhan-Nya berkali-kali dalam ratapan menyakitkan.

Kala membiarkan air matanya menetes lagi dan lagi meski ia sudah tak terisak lagi. "Kala kan sekarang sudah di sini, Bu."

"Maaf, Nduk. Maaf. Maaf Ibu nggak nggak bisa menguatkan kamu. Maafkan Ibu yang malah merepotkan kamu, Nduk. Kamu yang sakit. Kamu yang terluka. Tapi malah kamu yang menenangkan Ibu di sini."

WALKING DISASTERWhere stories live. Discover now