Subject 35

2.5K 334 9
                                    

Ibunda Reiga adalah orang yang paling terpukul atas apa yang menimpa Kala. Berbeda dari mama Kala yang meski sempat sampai histeris mendengar berita menyakitkan yang harus dialami anaknya itu disampaikan oleh Reiga beberapa minggu yang lalu, dan sempat pingsan sebentar, namun setelah itu berusaha untuk tegar. Sementara itu, Ibunda Reiga terus menangis hingga beberapa kali pingsan, bahkan sampai dilarikan ke rumah sakit hingga hari ini akibat terlalu syok mendengar calon menantunya mengalami peristiwa mengerikan di awal tahun ini.

Maka, saat Reiga mengiyakan ajakannya untuk mengunjungi Ibu di Ungaran, Kala langsung mencari tiket pesawat. Tidak ingin membuang-buang waktu lagi untuk menemui calon mertuanya yang jatuh sakit karena mencemaskan dirinya. Kala membeli tiket pesawat ke Semarang untuk Jumat sore.

Selama perjalanan di udara yang hanya memakan waktu satu jam, Kala gelisah. Namun, berbeda dengan terakhir kali ketika mereka berkunjung ke Ungaran—saat harus menghadiri pernikahan Hani—kali ini Kala bisa memeluk Reiga tanpa ragu-ragu. Beberapa bulan lalu, ia merasa sendirian dan asing. Reiga duduk tepat di sampingnya, namun terasa sangat jauh untuk digapai. Dan kali ini, Kala bisa bernapas lega karena ia tidak lagi merasakan itu. Reiga benar-benar ada di sampingnya. Di dekatnya. Tak hanya raga, tetapi juga hatinya.

"Mau makan sesuatu?" tawar Reiga melihat Kala yang banyak melamun selama di dalam pesawat.
Biasanya, Kala memang banyak mengemil saat mereka bepergian. Jarak dekat maupun jarak jauh. Sehingga Reiga selalu sedia camilan cukup banyak di dalam tas yang tidak ikut masuk bagasi.

Kala menggeleng. Kepalanya terkulai nyaman di pundak Reiga. Tangannya melingkari lengan laki-laki itu. Jari-jemari bermain-main di telapak tangan Reiga, menggambar sesuatu yang abstrak. "Semua orang jadi sedih gara-gara aku," bisik Kala.

"Nggak boleh ngomong gitu, Sayang." Reiga mengecup puncak kepala Kala singkat.

Kala mendesah lirih. "Tapi kenyataannya gitu, Rei. Mama masih sering nangis diam-diam. Papa jadi banyak murung. Wira, Amanda, kamu... kalian semua jadi nggak pernah tenang karena aku. Sekarang, gantian Ibu. Ibu sampai jatuh sakit gara-gara aku," ucap Kala lagi. Ia semakin murung membayangkan sebentar lagi akan bertemu dengan Ibu.

Reiga mengelus wajah Kala dengan lembut. Dengan hati-hati ia menjawab, "Bukan salah kamu, Sayang. Keluarga ada untuk berbagi hidup. Susah atau senang kita bagi bersama. Itu fungsinya keluarga. Kalau bukan keluarga yang bersedih dan merasa sakit bersama kamu, siapa lagi yang kamu harapkan? Kamu terluka, wajar kalau kami semua juga ikut terluka. Aku juga nggak akan membiarkan kamu sedih dan sakit sendirian, La. Aku nggak akan pernah membiarkan kamu melewati ini sendirian. Aku, keluarga kamu, dan juga keluargaku, kami semua di sini bersama kamu. Kita menghadapi masalah ini bersama-sama. Dengan begitu kita bisa menjadi kuat bersama."

Kala mengeratkan rangkulan. Wanita itu semakin menyurukkan kepala ke ceruk leher Reiga. Menghidu aroma familiar kekasihnya yang memberikan ketenangan. "Aku selalu bertanya-tanya, kebaikan apa yang pernah aku lakukan sampai bisa ketemu laki-laki seperti kamu, Rei."

"Memangnya aku laki-laki yang seperti apa?" tanya Reiga dengan kerutan yang tergambar jelas di kening. "Jangan bilang kalau aku laki-laki yang sempurna dan terlalu baik buat kamu lalu kamu tiba-tiba minta putus. I will never forgive you if you dare to do that again," ancam Reiga dengan gemas.

Kala terkekeh kecil. "Justru karena kamu sebaik itu, aku nggak akan melepaskan kamu, Rei. Nggak akan lagi." Kala sedikit mendongak untuk mengecup rahang kekasihnya itu lalu berkata, "Udah aku tandain, tuh. You belong to me since forever and I will never let you go."

Reiga tersenyum bangga. Ia mengacak rambut Kala dengan sayang lalu membalas, "That's my girl! Kamu itu perempuan paling percaya diri dan paling nggak tahu malu yang pernah aku kenal selain Mbak Hani...."

WALKING DISASTERWhere stories live. Discover now