Subject 37

2.4K 296 14
                                    

Reiga dan Bapak kembali ke kamar Ibu setelah selesai dengan obrolan antarlelaki yang mereka bagi. Mereka mendapat pemandangan yang membuat hati menghangat, tetapi juga menohok di saat yang bersamaan. Kala tertidur di pelukan Ibu, di atas brankar rumah sakit yang sempit. Kedua wanita yang berbeda usia itu tampak sangat damai dalam tidurnya.

"Dibangunkan saja, Ga," kata Bapak dengan suara pelan. "Kalian berdua istirahat saja di rumah. Kasihan Kala kalau tidur di sini."

Reiga tidak langsung membangunkan Kala. Laki-laki itu mengusap-usap pipi kekasihnya yang merona merah muda. Bekas tangis masih tersisa di sana. Begitu pula di wajah Ibu yang tampak lebih kurus dari yang terakhir Reiga lihat. Lama Reiga memandangi dua wanita yang ia cintai itu hingga tidak sadar saat Kala sudah membuka mata.

"Hai," bisik Kala dengan suara sengau. Wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan diri saat cahaya terang dari lampu ruangan langsung masuk ke mata.

Reiga tersenyum tipis. "Pulang, yuk," ajak Reiga sembari membantu Kala bangkit dan turun perlahan agar tidak membangunkan Ibu yang masih terlelap.

Kala mendongak menatap Reiga saat laki-laki itu membantu merapikan rambutnya yang agak berantakan. "Aku mau nungguin Ibu di sini. Boleh?"

"Besok aja ke sini lagi. Kamu juga butuh istirahat, La."

Kala tampak tidak setuju dengan usulan itu. "Kalau Ibu cari aku gimana?"

Reiga menepuk kedua pipi Kala pelan. "Ibu pasti paham kalau kamu di rumah lagi istirahat. Jadi nggak akan cari kamu sampai besok."

"Tapi aku mau di sini sama Ibu," rengek Kala.

Reiga menyentil kening Kala dengan gemas. "Kalau kamu di sini mau tidur di mana?"

"Aku nggak masalah tidur di lantai, kan bawa karpet. Nggak tidur juga nggak papa."

"Kemarin-kemarin kamu tuh banyak lembur sampai nggak banyak waktu buat tidur lho, La. Kalau kamu di sini kamu nggak bisa istirahat. Nanti kalau kamu ikut sakit gimana?"

Ucapan Reiga sontak membuat Kala memberengut. Hari ini, Reiga benar-benar tidak memberinya celah untuk merengek.

"Besok pagi saja ke sini lagi, La," Bapak yang sejak tadi hanya diam itu ikut menimpali. "Kamu istirahat di rumah dulu. Yang lebih nyaman buat tidur. Biar kamu nyenyak tidurnya dan badannya segeran besok."

Karena Bapak sudah bicara dan membuat Kala kalah suara, mau tidak mau wanita itu menurut. Sebab, Kala juga sungkan untuk mendebat Bapak. Meski tak rela jika harus meninggalkan Ibu barang sebentar saja, Kala akhirnya pamit untuk pulang kepada Bapak setelah mencium pipi Ibu.

Sejujurnya, Reiga juga ingin menunggui Ibu di rumah sakit agar Bapak bisa beristirahat di rumah. Tetapi Reiga tidak mungkin membiarkan Kala tidur di rumah hanya berdua dengan Bapak dan Pascal saja sehingga tidak ada pilihan lain baginya.

"Rei," Kala mengucapkan nama Reiga dalam gumaman kecil.

"Mau makan dulu?" tanya Reiga yang teringat bahwa mereka belum sempat makan apa-apa sejak tiba di Semarang.

Kala menggeleng. "Nanti di rumah aja. Makan bareng Pascal sekalian. Dia di rumah kan?"

Reiga hanya mengangguk. Lalu keduanya meneruskan langkah ke luar gedung rumah sakit dan menuju ke deretan taksi yang menunggu penumpang.

"Rei," panggil Kala lagi. "Tadi Ibu bilang kalau Ibu pengen aku tinggal di sini."

"Setelah kita nikah?" Kernyitan muncul di kening Reiga. Reiga sudah sempat bercerita kepada Bapak dan Ibu tentang rencana laki-laki itu menetap di Jakarta setelah menikah dan kedua orang tuanya itu setuju-setuju saja. Ia sama sekali tidak tahu jika Ibu ternyata punya keinginan lain. Ibu juga tidak pernah membahasnya.

WALKING DISASTERМесто, где живут истории. Откройте их для себя